Suasana kampus tempat anakku kuliah ramai bukan main. Para wisudawan berduyun-duyun berjalan di trotoar jalan. Sebagian yang lain dibonceng motor lengkap dengan toga serta rambut sanggulnya. Mereka tampak begitu bahagia. Dan begitu juga aku, hari ini teramat membahagiakan sekaligus melegakan bagiku karena perjuangan membiayai kuliah anakku itu akan segera berakhir.
Mobil carteran yang kami tumpangi berjalan merayap ke area kampus. Di kanan -kiri jalan gedung-gedung perkuliahan berdiri congkak menantang langit. Rasa bangga menggetarkan dada menyadari anakku telah berhasil menyelesaikan study di kampus bergengsi seperti ini. Susah payah aku mengumpulkan uang dari mengolah tanah warisan orang tua yang tak seberapa untuk membiayai kuliahnya. Itu pun harus ditambah hutang sana-sini.
"Haraz sudah bales WA-mu Bune?" aku bertanya pada istriku. Dia cuma menggeleng. Aku kembali menikmati keramaian kampus dengan pandangan mataku. Semakin mendekati gedung tempat wisuda laju mobil semakin melambat. Para fotografer bertebaran dimana-mana. Anak-anak muda itu menyambut para undangan sembari menjajakan jasa. Mahasiswa-mahasiswi yang memanfaatkan moment wisuda untuk berjualan bunga berjibun di pinggir-pinggir jalan, berebut pembeli. Beberapa saat kemudian kami telah sampai di area parkir. Istriku sibuk membenahi make-up-nya. Anakku yang ke-2 dan ke-3 tak berhenti ngemil semenjak bangun tidur di tengah perjalanan tadi.
Kami turun di tempat parkir. Melihat suasana begitu ramai serta lamanya perjalanan yang kami tempuh aku merasa perlu untuk mematut diri. Jangan sampai anakku nanti merasa malu karena melihat rambutku ada yang tidak rapi.
"Kita makan di mana Yah?" celetuk Si Bontot tiba-tiba.
"Ikuti ibumu ke sana," perintahku sambil menuding ke arah Ibunya yang telah melangkah pergi meninggalkanku. Putriku yang baru kelas 3 SD itu berlari mengejar ibu dan kakaknya. Aku lantas bersisir sembari mengoleskan sedikit minyak rambut sambil mengaca di depan spion.
Tiba-tiba ada bunyi klakson di belakangku. Aku segera bergeser. Tolah-toleh aku mencari istri dan kedua anakku. Pandangan mataku terhalang oleh beberapa mobil di hadapanku. Tapi kemudian kulihat Marwan dari seberang jalan, Si Sopir sekaligus pemilik mobil carteranku itu sedang melambaiakan tangannya ke arahku. Dia baru saja mengangkatkan sedikit bawaan kami. Aku menjawab bahasa isyaratnya dengan acungan jempol.
"Arjun!" tiba-tiba ada seseorang memanggilku dari arah lain. Tolah-toleh kepalaku mencari sumber suara itu. Detik berikutnya kulihat seorang lelaki berkopyah datang kepadaku. Aku mengernyitkan dahi guna mengenalinya. Setelah beberapa saat berusaha membuka lipatan ingatanku akhirnya aku ingat juga siapa lelaki berkopyah putih itu.
"Hakim!" balasku seraya melebarkan tawa. Kami berjabatan tangan erat.
"Bagaimana kabarnya Jun?" sapanya.
"Baik-baik saja Kim, seperti yang kamu lihat," balasku cepat. Temanku di pondok yang kukenal sebagai santri abdi ndalem Kyai Salman itu lantas kutepuk bahunya. Tubuhnya begitu gempal tidak seperti yang dulu. Waktu di pondok dulu dia setiap hari pergi ke sawah milik Kyai Salman sampai lupa kewajibannya untuk belajar. Ketika ngaji di madrasah dia selalu mendapat hukuman berdiri di kelas karena tidak pernah hafal nadzoman imrithy. Hakim adalah santri yang paling sering kena marah kala itu.
"Ngapain ke sini Jun? Ngantar wisuda anakmu ya?" tanyanya sumringah, seolah tak pernah punya masa lalu yang segelap itu.
"Iya Kim. Anak pertamaku wisuda hari ini. Jurusan Agrobisnis dia. Tak percuma aku pontang-panting cari biaya buat kuliahnya. Aku tak ingin anakku menjadi orang yang bodoh, mau seperti apa masa depannya kalau tidak kuliah? Rugi sekali kalau bapaknya kuliah tapi anaknya tidak bisa kuliah, iya kan?" aku menghela nafas untuk mengambil jeda. Bicaraku terlalu semangat sehingga membuat nafasku terengah-engah. Aku ingin menyadarkan Si Hakim ini perihal pentingnya ilmu pengetahuan. Lalu aku mulai bicara lagi, "perjuanganku menguliahkan anak tidaklah mudah Kim. Tapi syukurlah, setelah kuliah enam tahun lamanya akhirnya bisa wisuda juga dia. Owh iya, kamu sendiri ngapain ke sini Kim?" tanyaku padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dan Sepatu pun Menertawakanku
Cerita PendekBerisi tentang cerpen-cerpen yang pernah kutulis, kebanyakan pernah dimuat oleh duniasantri.co. "Dan Sepatu pun Menertawakanku" merupakan cerpen yang dipakai sebagai nama buku antologi cerpen yang diterbitkan oleh duniasantri.co. Selamat membaca...