Gadis Pendebat

9 0 0
                                    

Pemuda itu menekan tombol pompa air galon yang tergeletak di lantai ubin berwarna putih kusam hingga air mengucur ke dalam gelasnya. Ia kembali menekan tombol di pompa itu ketika air putih telah mengalir memenuhi gelas. Dalam hitungan detik air itu telah tandas membasahi tenggorokan. Ia lantas merebahkan diri di kasur lantai. Jadwal kuliah yang padat membuat tubuhnya penat. Dan nyaris saja dia terbang ke alam mimpi andaikan layar pop up HP- nya tak memunculkan pesan dari Ro, teman sekelas yang barusan mendebatnya saat presentasi di kelas.

|Haris yg (sok)bijak|

|bagaimana perasaanmu kehilangan orang tua dan masih dituntut oleh masyarakat untuk memberikan sejumlah sedekah?|

Pertanyaan gadis bernama Aurora itu menghapus kantuknya. Ia cari jawaban di kepala. Sebenarnya perlu membuka dan mencari referensi lagi, tapi sepertinya ini butuh waktu lama sementara Ro gadis yang tak sabaran. Lalu, bagaimana ia harus menyusun kata menghadapi gadis cerewet yang terus mendebatnya itu?

|sebenarnya kamu tak sependpt dg seremonialnya atau bacaan dalam tahlil sih Ro?|

Pemuda bernama Haris itu akhirnya mengirim pesan balasan.

|pertanyaannya apa, jwbnya apa|

Balas Ro detik berikutnya.

|q malas debat di hp. Nnti kl ada wktu kita kopdar|

Balas Haris berikutnya.

|bilang klo g bisa jwb|

Haris terkejut. Jawaban itu seketika membuat tensi darahnya naik. Namun dia segera menenangkan diri. Amarahnya tak akan menyelesaikan masalah. Gadis itu justru akan semakin menyerangnya. Tidak hanya dirinya, bahkan seluruh muslimin dan muslimat yang gemar melakukan amalan tahlil di seluruh penjuru nusantara akan semakin dihujatnya.

|berbicara mslh serius di HP hanya akan menambah kesalah pahaman. Kalau mau, kita berbicara empat mata|

Haris membalas dengan segera. Kini Haris yang berganti menunggu Ro yang tengah mengetik balasan. Sebentar kemudian pesan itu muncul.

|kamu mau ngajak q ngedate? Hahaha|

Jawaban Ro membuat dahi Haris mengernyit. Ia membalas dengan emoticon menutup muka. Jengah.

|khalwat Ris! Katanya alumni pesantren, masak gitu?|

Ro melanjutkan pesannya kali ini disertai emoticon tertawa.

|kamu ajak akhwat-akhwat. Yang bening tapi|

Haris lantas melempar HP-nya. Ia benamkan kepala di bantal, berharap bisa tidur walau sebentar, matanya pedas sekali dan kepalanya terasa berat. Namun masih tampak balasan pesan dari Ro.

|Eh ini arahnya kmn si. Tp okelah, Nnti kita agendakan. Kuterima tantanganmu, PEMUJA BERKAT!|

Keesokan harinya mereka sepakat bertemu di sebuah kafe. Haris ditemani oleh Karim. Sementara Ro ditemani oleh dua orang temannya yang memakai hijab. Sementara Ro sendiri hanya memakai jilbab panjang, tak bercadar. Para gadis itu datang lebih awal. Sementara Haris sedikit telat karena menunggu Karim. Teman sekamarnya itu memang agak semaunya sendiri. Ia menegaskan datang telat adalah ciri lelaki sejati; calon suami yang tidak takut istri. Dan terpaksa Haris menuruti kemauan temannya itu karena tidak ada teman lain.

"Yang ngajak kopdar siapa, yang telat siapa?" sindir Ro menyambut kedatangan kedua lelaki itu.

"Saya memimpikan seorang perempuan yang lemah lembut, yang menyambut kedatangan suaminya dengan senyuman hangat," Haris nyletuk.

"Sayang, aku bukan istrimu. Dan tak akan pernah!"

Jawaban Ro itu menyita perhatian teman-temannya, semua mata memandang ke arah gadis itu dengan penuh tanda tanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dan Sepatu pun MenertawakankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang