Jeep putih memasuki parkiran sekolah, Milo memarkirkan di ujung parking area. Tak masalah baginya berjalan lebih jauh, cuaca sedang cerah, dan disebelah ada Shaleta. Tak ada alasan baginya untuk mengeluh, yang ada dia justru senang.
Milo berjalan bak model dengan hoodie putih dan tas ransel hitam, kaki panjangnya melangkah lebar meski pelan. Milo membenarkan posisi airpodnya. Midnight milik Coldplay mengalun, mengirimgi perjalanan Milo menuju kelas. Sesekali dia membalas sapaan teman yang dulu sekelas dengannya tapi kini berbeda kelas.
"Milo...." panggil Mauve sangat keras. Dari jauh pun Milo masih bisa mendengar.
Namun, Milo pura-pura tak mendengar. Bahkan dia mengeraskan volume lagunya dan mempercepat langkah. Dia sedang tak ingin berbaik hati dengan Mauve. Cukup semalam dia mengajari Mauve hingga hilang selera makan.
"Ih, gue panggil juga. Mentang-mentang ada gandengan." Mauve menarik ransel Milo seraya melirik Shaleta.
"Gue duluan ya," ucap Shaleta, melirik sinis Mauve.
"Lo gimana, sih? Masih aja ke sana-sini bareng Leta. Katanya mau ngilangin gosip."
"Gue nggak denger lo ngomong apa. Diem hemat tenaga." Milo menunjuk airpods lalu mengetuk bibir Mauve dengan jari telunjuknya.
Mauve mengambil paksa airpods di telinga kanan Milo. "Gimana gue bisa diem kalau lo nempel Leta terus? Kapan sukanya sama gue kalau gitu?"
"Lo aja masih bego," ucap Milo seraya mengambil lagi airpodsnya.
Bibir Mauve mengerucut seketika. Sulit sekali jadi cewek yang disukai Milo. Jadi pintar itu tantangan terberat selama hidupnya. Mauve menghela napas di samping Milo. Kakinya melangkah lebih cepat memgikuti langkah Milo yang terlalu lebar baginya.
Dia mendongak melihat wajah Milo yang datar tak sedikit pun menoleh padanya. Padahal dia terus menempel di samping Milo. Dia sampai tak sadar menabrak tiang karena pandangannya tak lepas dari cowok jangkung bermata coklat.
Milo yang tahu tak berusaha mencegah. Dia mengulum senyum menahan tawa saat melihat Mauve menabrak tiang dan mengaduh kesakitan. Bukannya menolong dia justru mengabaikan Mauve yang teriak memanggilnya.
Sekarang ini bukan saat yang tepat untuk menolong Mauve. Biar Mauve belajar untuk tak banyak bicara dan menjaga pandangan. Lagipula Milo tahu Mauve tak sesakit itu, Mauve hanya malu karena dilihat dan ditertawakan banyak orang.
"Tega lo bikin Vee malu seantero Pembangunan, bukannya nolongin malah ditinggalin," ucap Bimo yang tiba-tiba merangkul bahu Milo.
"Kenapa nggak lo aja yang nolongin?"
"Kalau gue yang nolongin takutnya Vee pindah rasa ke gue. Gue sih mau-mau aja, cuma nggak enak aja sama lo."
"Gih gebet kalau demenan lo cewek bego."
"Pedes banget mulut lo."
"Kenyataan."
"Tapi emang, sih. Vee kebangetan malesannya. Kayaknya kalau dia rajin dikit bisa deh ngalahin lo."
"Lo masih tidur? Ngimpi di sekolah."
Milo masuk ke kelas yang sudah ramai anak-anak yang tengah sibuk membahas tugas. Dia meletakkan tas lalu ikut berkumpul dengan Bimo dan Saka yang membahas kelas masak siang nanti.
Di SMA Pembanguna ada pelajaran non akademik yang berbeda tiap tingkatan kelas, salah satunya pelajaran masak untuk kelas XI. Bimo dan Saka yang tak mahir memasak tentu saja mengeluhkan pelajaran ini.
"Bisa nggak sih gue kebagian yang ngicipin doang nggak ikut masak?" ucap Bimo yang membayangkan bisa menggosongkan panci.
"Gue juga males banget. Masak mie aja gue nyuruh pembokat gue," sahut Saka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Taken Slowly
Teen FictionMAUVE Diawali dengan jatuh cinta pada pandangan pertama. Di atas bus pada suatu sore sepulang latihan tari. Aneh rasanya, gue yang suka nge-cover dance K-Pop di media sosial dan cuma buka buku pelajaran kalau besok ada ujian, naksir cowok yang selal...