Ujian hari pertama berjalan lancar. Mauve merasa puas meski belum tahu hasilnya. Dia senyum-senyum saat menoleh ke belakang di mana Milo berada. Sudah jadi kebiasaan SMA Pembangunan saat ujian semester berlangsung tempat duduk dan ruangan diatur lagi.
Satu kelas berisi kelas XI dengan kelas XII kadang dengan kelas X. Kali ini kelas Mauve bercampur dengan kelas Revan. Suatu kebetulan yang luar biasa. Mauve menoleh memperhatikan Revan, dia jadi merasa dimata-matai diam-diam. Tanpa sadar dia berdecak kesal dengan mata masih memperhatikan kembarannya.
"Lihatin apa?" tanya Milo seraya menjentikkan jari di depan wajah Mauve.
"Nggak lihat apa-apa. Pulang, yuk!"
"Bawa motor?"
"Iya. Tapi kayaknya masih gerimis, deh, di luar." Kepala Mauve sedikit melongok keluar jendela.
"Mau nunggu terang?"
"Nggak. Gue bawa jas ujan kok."
Mereka berjalan beriringan di koridor. Entah sejak kapan mereka mulai dekat, tak ada lagi risih yang Milo rasakan. Setelah mengenal cukup lama, Mauve tak semenyebalkan itu. Banyak sisi lain yang bisa dia lihat dari cewek di sampingnya ini.
"Aw..." seru Mauve terhuyung ditabrak segerombolan siswa. Meski Milo sudah menariknya tapi Milo kurang sigap hingga dia tetap tertabrak dan terhuyung menimpa Milo.
"Eh, sorry," ucap salah satu siswa yang berlarian dan menabrak Mauve.
"Jalan pakai mata! Lo kira ini track lari?" Revan pasang badan, menatap tajam segerombolan siswa kelas X yang terlihat dari garis satu di dasinya.
"Maaf, Kak."
Revan memberi isyarat dengan menggerakkan dagunya mengusir mereka. Sangat keren dan berkarisma layaknya kakak kelas yang berwibawa. Cewek-cewek di sekitar langsung kasak-kusuk memuji Revan.
Tapi nggak di mata Mauve. Hampir saja Mauve mencibir Revan tapi dia tahan. Dia juga tak sempat mengucapkan terima kasih karena Revan pergi begitu saja. Syukurlah dia tak perlu harus berpura-pura berterima kasih.
"Lo nggak pa-pa?" tanya Milo setelah sadar sejak tadi malah bengong memperhatikan Revan.
"Nggak pa-pa. Ayo, pulang."
"Sekarang sering ujan, kenapa lo nggak naik taksi atau minta antar supir aja? Daripada lo sakit pas ujian."
"Eh, eh, Lolo perhatian amat. Udah mulai suka, ya?"
"Gue serius."
"Gue juga serius, tahu. Gue nggak punya supir, tapi gue pertimbangkan buat naik taksi."
"Ortu lo nggak khawatir?"
"Bokap nyokap gue itu antimainstream. Nggak kayak kebanyakan orangtua. Gue udah 17 tahun jadi gue diharuskan mandiri apalagi mereka nggak di sini. Apapun resiko dari yang gue pilih gue harus bisa hadapi. Gue harus bisa jadi dewasa."
"Emang apa yang lo pilih?"
Mauve nyengir sembari menahan tawa.
"Kenapa malah ketawa?"
"Gue milih buat jadi cewek bego yang bebas ngedance," jawab Mauve lalu tertawa sendiri menertawakan pilihan kata untuk dirinya sendiri, cewek bego. Maksud dari perkataannya, dia memilih mengabaikan sekolah dan lebih menghabiskan waktu untuk dance. Memprioritasnya hobinya sementara sekolahnya terabaikan. Karena itu tak ada fasilitas eksklusif yang dia dapat seperti yang Revan miliki.
Mendengar jawaban Mauve, alis Milo naik sebelah. Dia kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan Mauve. Unik tapi aneh.
"Pilihan lo masih tetep mau jadi cewek bego?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Taken Slowly
Teen FictionMAUVE Diawali dengan jatuh cinta pada pandangan pertama. Di atas bus pada suatu sore sepulang latihan tari. Aneh rasanya, gue yang suka nge-cover dance K-Pop di media sosial dan cuma buka buku pelajaran kalau besok ada ujian, naksir cowok yang selal...