24

1.5K 396 25
                                    

Mauve specchles melihat ponselnya yang retak di mana-mana meluncur dari tangga atas sampai ke bawah. Tak hanya itu, kakinya juga terkilir karena ikut menggelinding di tangga. Dia kaget Milo mengajaknya ke rumah sampai dia salah memijakkan kakinya di anak tangga.

"Non, Non nggak pa-pa?" tanya Bibi ketika Mauve dan Revan sudah pulang dari rumah sakit.

"Sakit, Bi," jawab Mauve seraya menunjukkan kakinya yang dibalut perban elastis.

"Tahan! Siapa suruh banyak tingkah," ucap Revan yang membantunya berjalan. "Besok pagi bantuin Vee beberes di kamar ya, Bi."

"Siap, Den."

Untuk sementara Mauve tak boleh banyak menggerakkan kakinya. Untung saja tak ada cedera kepala hanya cedera ringan kakinya yang terkilir. Dia berjalan menggunakan kruk untuk beberapa hari.

"Kak, HPku rusak," ucap Mauve setelah berbaring di kasur.

"Beli lagi."

"Bilangin Papa."

"Iya, udah tidur. Kalau nggak mau tidur, belajar, nggak usah nangisin HP."

"Mau tidur aja. Belajar terus bikin mual."

Revan menjentikkan jarinya di kening Mauve. "Dasar!"

Sebenarnya Mauve mencemaskan reaksi Milo. Dia tak bisa menghubungi Milo. Dia bukan tipe cewek cerdas yang bisa mengingat nomor orang lain selain nomornya sendiri. Meminjam ponsel Revan untuk menghubungi Milo bukan pilihan tepat. Revan pasti akan mengacaukan.

Mauve hanya berharap pagi segera datang dan Milo menjemputnya. Apakah Milo akan menjemputnya? Mauve jadi ragu dan menghela napas berat. Dia menyesali kebodohannya yang terlalu excited hanya karena diajak ke rumah Milo.

Dia juga cemas cederanya bisa mempengaruhi saat dia kembali melalukan aktivitas dance. Sudut matanya pun berair. Dia mengusapnya berusaha tegar.

***

Milo menunggu di pinggir jalan, ragu untuk masuk ke rumah Mauve. Dia menatap gerbang rumah Mauve cukup lama hingga mobil Mercedes Benz C-Class berwarna hitam melintas keluar rumah. Bahu Milo melorot, bibirnya berdecak, dan tangannya memukul stir, kesal. Merasa sangat bodoh telah di bodohi seseorang yang pernah dia anggap bodoh.

Milo menekan gasnya kuat menyalip mobil hitam mengkilat yang membuatnya naik darah. Sepagi ini dia sudah dibodohi. Dia mengehela napas berkali-kali sepanjang perjalanan. Dia tak tahu Mauve masih menunggunya di dalam rumah dengan cemas.

Revan yang melihat mobil Milo menyalipnya memelankan laju mobil dan memutar balik arah kembali ke rumah. Dia merasa yakin Mauve tak bersama Milo. Dia memprediksi waktu dari keluar gerbang melihat mobil Milo di pinggir jalan hingga Jeep putih itu menyalip pastilah Mauve masih di rumah. Kecerdasannya berguna di saat begini.

Revan membunyikan klakson dan meminta Mauve masuk ke dalam mobil sesampainya di rumah. Dia tertawa lepas melihat ekspresi Mauve yang cemberut masuk ke dalam mobil.

"Katanya dijemput?"

"Tau, ah!"

Tawa Revan semakin keras. Mauve hanya bisa menahan dongkol. Kenapa bisa dia sesial ini? Untung saja Revan kembali. Ingin berterima kasih tapi gengsi. Revan pasti akan besar kepala dan semakin menertawakannya, pikir Mauve.

"Aku nggak mau diturunin tengah jalan," ucap Mauve.

"Ada syaratnya."

Mauve langsung menghela napas. "Apa?" tanya Mauve ketus.

"Liburan nanti harus mau ikut mama sama papa ke Singapore."

Mauve diam, matanya melirik Revan, sebal. Dia lebih menyukai orang tuanya yang menetap di Jakarta dari pada dia yang ikut ke sana. Karena berujung dia akan ditinggal orang tuanya yang sibuk bekerja. Dia masih beruntung tetap di sekolahkan di Jakarta bukan di lempar ke negara antah berantah seperti sepupu-sepupunya yang dari SMP sudah dibiarkan hidup mandiri, di sekolahkan di luar negeri.

"Memang aku bisa nolak?" balas Mauve setelah mendesah, mengeluarkan napas keras pertanda sebenarnya dia tak menyukainya.

"Baguslah kakimu sakit. Mama pasti seneng aku kasih tahu kalau kamu bakal ikut ke Singapore pas mama papa pulang ambil rapor nanti."

"Ck, seneng banget, sih, lihat aku menderita," gerutu Mauve.

Melihat pintu gerbang sekolah Mauve baru menyadari bahwa nanti orang-orang akan meihatnya turun dari mobil Revan. Seketika dia panik menoleh ke arah Revan.

"Kak, kalau ada temen yang lihat gimana?"

"Telat!" Mereka sudah memasuki gerbang dan Revan berhenti di depan lobi sekolah.

"Kak, kok berhenti di sini?" Mauve cekingukan.

"Emang kamu mau jalan jauh dari parkiran?"

"Tapi nanti pada lihat gimana?"

"Bilang aja nggak sengaja ketemu kakak kelas yang ganteng dan dermawan nawarin nebeng."

"Kak, serius, dong."

"Aku juga serius. Udah buruan turun! Telat nanti. Parkiran ke kelas jauh."

Mauve mengacak rambutnya frustasi tapi tak ada pilihan lagi. Berjalan dengan keadaan seperti ini dari parkiran namanya nyari mati. Dia keluar dari mobil dan menutup topinya semakin dalam. Tak berani menunjukkan wajah. Berjalan pincang menggunakan kruk mendekati lift. Berdoa dalam hati berharap tak ada teman yang melihatnya turun dari mobil Revan.

"Lo kenapa?"

Mauve terperanjat, mengangkat kepalanya, dan menatap Milo.

"Lolo...."

"Lo kenapa?" tanya ulang Milo.

"Jatuh dari tangga. Sorry semalem hp gue mati dan gue nggak hapal nomor lo. Jadi gue nggak bisa nelepon lo baik."

"Sakit?"

"Nggak pa-pa cuma keseleo. Dua tiga hari katanya bisa sembuh asal nggak banyak gerak."

"Oh."

"Lolo beneran mau ngajak gue ke rumah?" seru Mauve lalu dibekap Milo.

"Kenapa?" tanya Mauve setelah Milo tak lagi membekapnya.

"Bahas nanti. Ayo, masuk!" Milo membantu Mauve masuk ke dalam lift, memastikan tak ada yang mendorong gadis itu.

Mauve diam sesekali melirik Milo lalu senyum-senyum sendiri. Hanya melihat wajah Milo saja suasana hatinya bisa jadi berbunga-bunga. Sakit pun tak di rasa justru senang karena Milo jadi perhatian.

"Lolo," panggil Mauve karena Milo meninggalkannya.

"Hm..." Milo berhenti melangkah dan menoleh ke belakang.

Mauve meminta Milo mendekat. "Sini bilangin!"

Milo mendekat dan Mauve menarik lengan kemeja cowok itu agar menundukkan kepala. "Semalem gue kaget waktu Lolo ngajak ke rumah sampe gue kepeleset di tangga saking senengnya. Terus HP gue rusak jadi nggak bisa hubungin Lolo. Sorry," bisik Mauve.

Milo mengangkat wajah, kaget. Kini mata mereka beradu tatap. Dia susah payah menelan salivanya. Milo pun berdehem dan menjauhkan diri.

"Bahas nanti aja. Bentar lagi masuk. Ayo!"

"Lolo nggak marah, kan?"

"Nggak."

"Yeay!" seru Mauve girang.

"Lo masih bisa ngdance, kan?" Milo tiba-tiba terpikirkan soal hobi Mauve.

"Masih," jawab Mauve sedikit ragu. Tapi dia tak ingin memperlihatkannya.

Milo lega mendengarnya. Meski ingin menanyakan banyak hal terutama tentang Revan, Milo menahannya. Dia perlu menyiapkan diri untuk ujian, hal yang lebih penting dari pada mengedepankan emosi sesaatnya untuk saat ini.

***

Ada yang nungguin?
Nggak sabar next part hehehe
Jangan lupa klik bintang dan komentarnya ya. Makasih. 😘

Taken SlowlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang