Dua minggu yang berat bagi Mauve. Melewati ujian dengan harapan yang tinggi. Meski nilai tak hanya ditentukan oleh nilai UAS tapi dia sadar diri nilai UTS-nya tak terlalu bagus, hanya nilai tugas yang bagus berkat bantuan Revan.
Hujan baru saja reda. Mauve duduk di kursi taman, tak peduli roknya basah. Menggoyang-goyangkan kakinya di atas rerumputan sembari mendengarkan lagu Life Goes On milik BTS. Dia mengkhawatirkan nilainya. Baru kali ini dia tak sepercaya diri biasanya. Dia menyesal tak berusaha maksimal dari awal. Hanya heboh sesaat lalu redup, baru semangat lagi saat UAS di depan mata.
Mauve mengusap wajahnya dan menghela napas berat berulang kali. Tapi tetap saja tak bisa kembali ke awal. Dia harus bersiap melambaikan tangan perpisahan pada impiannya.
"Bye bye Lolo. Bye bye mobil keren. Sepertinya kita memang ditakdirkan berteman wahai hujan," gumam Mauve seraya menengadah menatap lamgit mendung yang tertutup rindangnya pepohonan. Ya, dia harus berteman dengan hujan dan matahari.
"Ngapain belum pulang?" tanya Saka yang ikut duduk di sebelah Mauve.
"Baru mau pulang."
"Gimana kaki lo? Lama nggak lihat lo." Saka dan Mauve beda kelas selama UAS sehingga lama yak bertemu.
"Udah nggak kenapa-kenapa. Udah bisa buat lari."
"Cih, lari dari kenyataan?"
"Mau gue gitu. Kayaknya ini tahun sial gue. Lo tahu nggak?"
"Kebiasaan." Saka menoyor kepala Mauve yang terbiasa menanyakan hal yang tak jelas.
"Sekarang gue ngerasa sial banget. Kaki gue sempet keseleo, cinta pertama gue sepertinya bakal gagal, dan habis ambil rapor gue ikut bokap nyokap gue. Lo tahu artinya kan? Sepertinya gue sulit buat balik lagi. Pasti nyokap bokap, dan Kak Revan udah berkomplot ngerayu gue buat tetap di sana."
"Revan bentar lagi lulus emang lo bisa sendirian di sini?" Saka menoleh pada Mauve, teman sekelas sekaligus saudara sepupunya. Tak ada yang tahu mereka bersaudara. Tak ada yang menanyakan jadi tak ada yang perlu dijelaskan.
"Nggak tahu. Gimana pun juga dia yang selalu bantuin gue walaupun sering nyiksa gue." Mauve kembali menggoyang-goyangkan kakinya, matanya menatap lurus ke depan.
"Eh, tapi kan ada lo," lanjut Mauve.
"Ogah! Gue nggak mau punya beban. Beban hidup gue udah banyak."
"Beban apaan? Hidup sendirian di apartemen punya beban apa lo?"
"Nggak! Nggak bisa. Nggak bisa bebas nanti gue."
"Ck, nyebelin! Kenapa sih keluarga kita aneh? Anak dibuang-buang. Untung aja gue nggak dilempar ke Chicago kayak kakak lo. Bisa melongo gue ditinggal di sana sendirian kayak anak ayam ilang."
"Gue juga was-was. Tapi kayaknya gue bukan tahun ini, nunggu lulus. Makanya gue berusaha banget dapet nilai bagus biar bisa bikin permintaan. Lo harusnya berterima kasih sama Revan, berkat dia lo masih di sini."
"Masa sih?"
"Nggak sadar diri banget. Nilai lo aja selalu di bawah rata-rata. Dia itu peduli banget sama lo. Sering chat gue cuma buat nanyain lo kalau kita lagi belajar kelompok."
Mauve menghela napas. Tak menyangka Revan sebaik itu padanya.
"Sepertinya gue harus siap jadi pesuruh dia selamanya," gumam Mauve.
"Udah sore. Ayo, pulang! Lo bawa motor, kan?" Saka beranjak dari kursi.
"Bawa," jawab Mauve, lesu.
"Lo nggak pengen bawa mobil?"
"Gue pengen jadi pacar Milo."
"Gue nggak nanya itu." Nada suara Saka meninggi, gemas dengan jawaban Mauve.
"Baru kali ini gue punya ambisi, punya cita-cita masuk 10 besar. Itu demi jadi pacar Milo. Sambil menyelam minum air. Sekalian aja gue minta mobil kalau gue masuk 10 besar."
Saka menggelengkan kepalanya tak habis pikir. "Lo sehat? Belajar cuma biar bisa jadi pacar Milo. Belajar itu biar lo nggak jadi gembel. Nggak ada Revan, siap-siap lo dibuang ke Afrika."
"Iya, iya. Gue belajar bukan karena terpaksa, kok. Gue sadar sepenuhnya, orang yang pinter berwawasan luas pasti punya peluang hidup lebih baik dari pada mereka yang bermalas-malasan. Puas?"
"Tumben kata-kata lo berbobot."
"Milo pernah bilang gitu ke gue. Belajar itu buat diri sendiri bukan orang lain. Masa depan gue, gue yang tentuin bukan orang lain."
"Nah, bener, tuh. Ya udah, ati-ati di jalan. Gue ke sana," ucap Saka di persimpangan jalan menuju parkiran mobil. Mauve melambaikan tangan perpisahan.
"Asyik banget ngobrolnya."
"Astagah, Lolo." Mauve terperanjat, jantungnya nyaris copot. "Sejak kapan Lolo di belakang?"
"Kenapa?"
"Nggak pa-pa. Lolo kok belum pulang?" Mauve melirik Shaleta yang berada di sebelah Milo.
"Baru kumpul sama anak-anak yang ikut olimpiade."
"Oh...." Mauve kehilangan kata-kata. Dia mengkhawatirkan Milo mendengar semua percakapannya dengan Saka.
Tapi Milo tak bertanya apapun lagi. Justru langsung pulang dengan Shaleta. Mauve mendengkus diabaikan Milo lagi. Beruntunglah dia punya sifat cuek yang kelewatan. Jadi dia hanya kesal sesaat lalu kembali lesu dan berdebar teringat nilai rapor besok yang mungkin tak memuaskan ambisinya.
***
"Gue baru tahu ternyata lo suka nguping pembicaraan," ucap Shaleta di samping Milo yang tengah menyetir. Tangannya memainkan miniatur Minions hadiah Mc. D yang tertempel di dasboard mobil.
"Tadi yang dibahas mereka, Revan itu kakak kelas yang selalu juara olimpiade itu, bukan? Yang cakep itu, yang banyak penggemarnya?" tanya Shaleta lagi meskipun dicueki Milo.
Shaleta tak tahu sejak tadi Milo menahan diri untuk tak meledakkan emosinya yang sudah diubun-ubun. Malah ditambah Shaleta memuji Revan sebegitunya. Milo semakin dibakar rasa cemburu yang menggebu.
"Emang dia seterkenal itu?" tanya balik Milo dengan nada ketus.
"Cie, cie. Ada yang cemburu, nih, nada-nadanya. Baru kali ini gue lihat lo begini. Tenang, lo nggak kalah terkenal, kok. Tapi dipikir-pikir lo sama Kak Revan, tuh, setipe. Jangan-jangan tipe yang disuka Mauve yang begitu. Pinter plus cakep," ucap Shaleta yang awalnya menenangkan tapi berakhir semakin membuat Milo kesal. Shaleta sejenis dengan Mauve, saat bicara suka ceplas-ceplos.
"Hm..."
Milo semakin penasaran dengan hubungan Mauve dan Revan. Kenapa juga Mauve bisa sesantai itu membahasnya dan Revan dengan Saka? Milo menoleh, melihat Shaleta sekilas. Meski Shaleta anaknya ceria seperti Mauve tapi Shaleta tak seperti Mauve yang bisa dekat dengan semua cowok.
"Apa menurut lo Mauve serius suka sama gue?"
Hampir saja Shaleta tersedak salivanya sendiri saking kagetnya. "Bukan perasaan Mauve yang terpenting tapi perasaan lo. Kenapa masih mikir? Jelas-jelas lo suka sama dia."
Milo diam memikirkannya. Secepat itulah perasaan bisa beralih? Dia takut menaruh harapan lalu terpatahkan.
"Jangan jadi pengecut kayak gue. Yang cuma bisa lihat orang yang gue sayang bahagia sama orang lain. Lo nggak pengen jadi alasan orang yang lo suka bahagia?"
Jadi alasan orang yang disuka bahagia. Kalimat manis yang sangat dia inginkan tapi perasaan tak seperti matematika yang bisa dihitung dan diketahui hasilnya dengan mudah. Meski terang-terangan Mauve sering menyatakan perasaan tapi Milo tak berani meyakini begitu saja. Bukankah menyatakan perasaan itu sulit? Tapi Mauve bisa semudah itu mengatakan. Apalagi Mauve tipe cewek easy going yang ramah pada siapa saja.
****
Update lagi hehehe
Suka suka suka?
Makasih selalu mengikuti 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Taken Slowly
Teen FictionMAUVE Diawali dengan jatuh cinta pada pandangan pertama. Di atas bus pada suatu sore sepulang latihan tari. Aneh rasanya, gue yang suka nge-cover dance K-Pop di media sosial dan cuma buka buku pelajaran kalau besok ada ujian, naksir cowok yang selal...