Musim kemarau telah berganti, hujan menyapa di jam sibuk. Mauve menengadah menatap langit dengan lesu. Kembali jas hujan yang telah lama tersimpan manis di jok motor dikeluarkan. Tak lupa sepatu boots andalan dia pakai. Mauve menghirup napas dalam-dalam sebelum menyalakan motor.Dia melirik Revan yang rapi menenteng tas siap masuk ke dalam mobil. Iri pasti, tapi dia tak bisa menuntut apapun. Tak ada yang bisa dia tawarkan pada orangtuanya untuk ditukar dengan sebuah mobil. Nilainya saja masih rata-rata. Belum ada peningkatan tajam sesuai mimpinya di akhir semester nanti. Hasil UAS juga tak membanggakan, masih standar.
"Apa lihat-lihat? Mau nebeng?" tanya Revan yang sudah membuka pintu mobil.
"Nggak. Males banget diturunin di tengah jalan. Emang aku cewek apaan."
"Dari pada hujan-hujanan. Tar rambutmu kayak tikus habis masuk got."
Mauve mengembuskan napas keras. Bukan masalah rambut. Tapi dia merasa masih kurang fit. Semalam pun dia tidur malam karena Revan mengajarinya tanpa ampun. Padahal sudah ditolong tapi malah menyiksanya. Dia harus mengerjakan banyak soal sampai mata berkunang-kunang.
"Ya udah, deh, ikut." Mauve melepas jas hujan dan sepatu bootsnya.
"Peduli amat sama penampilan. Gara-gara Milo?" ucap Revan yang sudah di depan kemudi.
"Astaga. Jadi inget." Mauve buru-buru mencari ponselnya.
"Inget apa?"
"HP, HP aku mana, Kak?"
"Tuh, di tas."
"Ngapain Kakak bawain HPku?" Mauve mengambil ponselnya di dalam tas Revan.
"Kamu sendiri yang lupa nggak bawa jadi aku bawain. Bukannya terima kasih."
"Tapi kan salah Kakak nyita HPku semalam, pakai dimatiin lagi." Mauve segera menyalakan ponselnya. "Tuh, kan, aku jadi kelupaan nelepon Milo." Mauve melihat satu chat Milo yang memanggil namanya, tak ada chat lain atau panggilan tak terjawab..
"Cowokmu marah?"
"Nggaklah. Ngapain marah, kan belum jadi pacar. Ngecengin mulu, nih, ah."
"Ucapan adalah doa, nggak mau didoain jadi pacar Milo beneran?" ucap Revan seraya mengemudikan mobil hitamnya.
"Ya mau. Tapi aku curiga kalau Kak Revan mendadak baik."
Revan menaikkan sebelah sudut bibirnya.
Gerimis masih setia meski mereka sudah hampir sampai di sekolah. Revan menepikan mobilnya di tikungan sebelum SMA Pembangunan. Dia tersenyum lebar pada Mauve yang memasang wajah kusut. "Bye-bye adikku tersayang."
"Ih, ngeselin!" Mauve menggertakkan gigi, membayangkan harus jalan jauh melewati gerimis manja yang hidup segan mati pun enggan.
Mauve melebarkan payung ungunya dan berjalan melewati trotoar. Perjalanannya masih panjang, bahkan dari pintu gerbang ke gedung utama masih harus melewati jalan panjang dan halaman penuh pepohonan besar yang luas.
"Semoga ada keajaiban pagi ini," ucap Mauve yang sudah berjalan setengah jalan.
Baru saja menutup mulut, dia sudah mendengar bunyi klakson mobil. Dia menoleh dan melihat mobil Jeep putih. Matanya berbinar dan bibirnya tersenyum lebar.
"Lolo...." seru Mauve girang, berlari kecil ke arah Milo. Mengabaikan cipratan air yang mengenai kakinya.
"Naik."
Mauve naik dengan susah payah karena tinggi Jeep Milo. Rambutnya sampai basah terkena gerimis saat naik ke mobil.
"Makasih, Lolo," ucap Mauve seraya membersihkan kakinya yang basah dengan tisu.
"Rambut lo basah. Keringin juga." Tangan kiri Milo mengambil tisu dan diletakkan di kepala Mauve.
"Oh, ya. Makasih." Mendadak Mauve kikuk dengan perhatian Milo.
"Lo ngapain jalan kaki?"
"Oh, itu...." Mauve menoleh lalu bingung mencari jawaban.
"Lo nggak jalan dari rumah, kan?"
"Gue naik bus, jalan dari halte."
"Oh."
Keadaan jadi sunyi hanya ada suara musik di dalam mobil. Mauve tak berani bicara takut memicu Milo bertanya-tanya hal yang menjurus pada kebohongannya. Sementara Milo diam menahan kesal karena dibohongi.
Milo melihat saat Mauve turun dari mobil hitam yang dia ketahui milik Revan -kakak kelasnya yang juga mantan juara olimpiade. Dia marah kenapa Mauve harus berbohong padanya. Jadi banyak pertanyaan di benaknya tapi dia tak mau bertanya langsung daripada mendapatkan kebohongan lain dari mulut Mauve.
"Gue nggak bawa payung," ucap Milo setelah mereka sampai di parkiran.
"Ya udah kita barengan aja pakai payung gue."
"Lo tunggu aja di sini dulu," ucap Milo saat Mauve akan mengambil payungnya yang di lempar ke belakang.
"Ok."
Milo mengambil payung ungu Mauve dan melempar payungnya ke pojokan agar tak terlihat Mauve. Dia turun, membukakan pintu Mauve, dan membantu Mauve turun. Sepayung berdua dengan perbedaan tinggi badan membuat mereka tak nyaman tapi memilih diam. Milo membungkukkan badan, membiarkan tas gendongnya basah. Mengikuti langkah Mauve yang pendek-pendek.
"Susah ya?" tanya Mauve seraya menengadah. Jantungnya seketika berdebar melihat wajah Milo dari dekat. Bulu mata panjang dan hidung mancung Milo memesonanya.
"Awas!" Milo menarik bahu Mauve mendekat. Hampir saja Mauve menginjak genangan air. "Lo jalan lihat ke depan! Ngapain ngelihatin gue?"
"Bisa ya manusia secakep Lolo. Tuhan pasti pas nyiptain Lolo suasana hatiNya lagi happy." Mauve menatap mata Milo tanpa takut akan menginjak genangan lagi.
Milo mengerutkan kening dan menghindari tatapan mata Mauve. Bagaimana bisa orang memuji terang-terangan tanpa malu di depan orangnya? Bahkan menatap mata. Dia saja jadi merasa canggung sendiri.
"Lihat ke depan!" Milo mendorong dagu Mauve agar mengalihkan tatapan darinya.
Milo meletakkan payung di sudut pintu masuk, tempat khusus meletakkan payung-payung yang basah. Dia melihat Revan melintas di hadapannya, dia pun melirik Mauve. Tapi Mauve justru masih menatapnya dengan tatapan yang membuatnya jengah.
"Ngapain, sih, lo ngelihatin gue mulu?"
"Habis nggak ada yang lebih menarik," jawab Mauve dengan cueknya. "Ayo!" Mauve menarik lengan Milo.
"Lo semalem kenapa nggak jadi nelepon gue?" tanya Milo dengan sengaja saat mereka berdiri menunggu lift terbuka. Ada Revan yang berdiri tak jauh dari mereka.
"Ketiduran habis belajar," jawab Mauve.
"Oh."
Mereka masuk ke dalam lift yang penuh. Milo masih mengamati Mauve dan Revan bergantian. Tapi tak ada interaksi apapun di antara mereka berdua. Membuatnya semakin penasaran.
"Bentar lagi ujian. Gue harus bisa jadi 10 besar biar nggak bikin malu seseorang," ucap Mauve lalu menaik-naikkan kedua alisnya.
"Cowok lo?" tanya Milo.
"Iyalah," jawab Mauve semangat.
Refleks Milo langsung menoleh pada Revan yang tetap cuek berdiri di samping Mauve. Kini dia memahami sesuatu. Dia tersenyum miris sekaligus malu. Selama ini menganggap Mauve tergila-gila padanya. Pantas saja Mauve bisa menatapnya tanpa canggung. Pantas saja tugas Mauve selesai dengan sempurna. Pantas saja ada suara cowok yang mengangkat teleponnya.
Milo mendesah saat keluar dari lift, membuang rasa kesal di hati. Jadi Mauve belajar dengan giat bukan untuk diri sendiri juga bukan untuknya. Selama ini dia resah dan merasa terbebani menganggap Mauve ingin berubah untuknya. Dia ingin Mauve berubah untuk diri sendiri. Tapi ternyata ada cowok lain yang menjadi alasan cewek berpita ungu ini.
Milo lega sekaligus semakin resah. Ada sisi tak rela mengetahuinya. Kenapa dia selalu jadi tameng untuk menutupi perasaan orang lain? Dulu Shaleta, kini Mauve pun melakukan padanya.
***
Update cepet mumpung bisa.
Pukpuk Milo, yuk! 😂😂
Seneng deh makin banyak yang vote dan komentar. Thank you 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Taken Slowly
Teen FictionMAUVE Diawali dengan jatuh cinta pada pandangan pertama. Di atas bus pada suatu sore sepulang latihan tari. Aneh rasanya, gue yang suka nge-cover dance K-Pop di media sosial dan cuma buka buku pelajaran kalau besok ada ujian, naksir cowok yang selal...