Milo memperhatikan Shaleta yang duduk di hadapannya dengan berjuta cerita. Apalagi kalau bukan cerita soal Ahimsa. Milo mendengarkan tanpa terlewat karena dia tak ingin Shaleta kesal.
Mata Shaleta berbinar penuh kekaguman saat menceritakan cowok yang disuka. Milo iri dalam diam menginginkan Shaleta pun berbinar saat menceritakan tentang dirinya.
"Sekarang giliran lo cerita soal Vee. Gimana? Dia masih suka cemburu sama gue?"
"Nggak. Dia tahu kita temenan."
"Sebenernya kalian jadian nggak sih? Masa gue denger-denger Vee yang ngejar-ngejar lo dan ngaku-ngaku jadi pacar lo. Andai gue bisa sepede Mauve."
"Dia PD karena cuma main-main. Nggak seserius perasaan lo buat Him." Milo tersenyum miris, nasibnya tak semujur prestasinya. Dia mungkin juara diberbagai bidang tapi tidak untuk hal asmara.
Pandai memainkan alat musik juga bukan jaminan cewek akan luluh dan terpesona. Berteman lama tak membuat Shaleta terpesona dengannya saat bermain piano ataupun gitar. Shaleta justru terpesona pada Ahimsa. Sepertinya cewek sekarang menyukai mahasiswa yang terlihat keren dan dewasa, tak terkecuali Mauve, pikir Milo.
Milo tanpa sadar menghela napas keras memikirkannya hingga Shaleta membelalakkan mata.
"Kenapa?" tanya Shaleta. Baru kali ini melihat Milo seperti sekarang. Biasanya Milo selalu memasang senyum manis dan penuh kesabaran. Tak pernah terlihat kesal atau menghela napas meski dia bercerita panjang lebar.
"Apanya yang kenapa?" tanya balik Milo yang kini membalas tatapan Shaleta.
"Vee cuma main-main sama lo?"
"Nggak. Gue aja yang kegeeran."
"Lo suka sama Vee?"
Milo menunduk diam tak tahu jawaban apa yang tepat untuk saat ini. Dia pun mengangkat kepalanya dan tersenyum tipis. "Gue mau punya pacar yang sefrekuensi yang bisa maju bersama bukan pacar yang harus gue bimbing. Gue bukan guru."
"Tapi berbeda bikin kita bisa saling memahami. Hidup jadi nggak monoton."
"Akan gue pikirkan lagi nanti."
"Oh ya, besok gue ikut Biology Competition di Kalbis Institute. Lo ikut nggak? Gue udah di daftarin sama Bu Nawa."
"Iya, gue ikut Accounting Competition. Mau berangkat bareng?"
"Boleh, boleh. Lo emang cowok paling peka sedunia. Yang jadi cewek lo pasti beruntung banget."
Milo tersenyum ragu. Bibirnya ingin mengucapkan isi hatinya tapi tertahan. Andai Shaleta memiliki rasa yang sama dengannya, dialah yang akan jadi orang beruntung. Memiliki kekasih yang sefrekuensi dan pintar pastilah mereka akan menjadi pasangan hebat yang berjuang bersama menggapai cita-cita.
***
Mauve menguap, merenggangkan tangannya. Tak ada cara instan untuk jadi pintar. Dia kelelahan mengejar ketinggalan. Meski sudah mulai belajar dari awal tahun ajaran baru tapi nyatanya tak ada yang mudah. Akhir semester pertama bahkan hampir selesai.
Ketegangan semakin terasa, Mauve mulai ketakutan dengan hasilnya padahal ujian saja belum dimulai. Belajar soal-soal yang ada makin cemas karena masih banyak yang tak bisa dia selesaikan. Matanya melirik ponsel yang terus menampilkan notifikasi youtubenya.
"Andai mata pelajaran sekolah semudah menghafalkan gerakan tari," gumam Mauve lalu menempekan pipinya ke meja. "Apa cuma gue ya yang nganggep semua pelajaran itu susah?"
Ingin meminta ajarkan Revan tapi saat-saat seperti ini Revan akan menjadi makhluk goa yang mendekam di dalam kamar. Bahkan makan pun di kamar. Tak ada kesempatan untuknya mendapatkan waktu berharga kembarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Taken Slowly
أدب المراهقينMAUVE Diawali dengan jatuh cinta pada pandangan pertama. Di atas bus pada suatu sore sepulang latihan tari. Aneh rasanya, gue yang suka nge-cover dance K-Pop di media sosial dan cuma buka buku pelajaran kalau besok ada ujian, naksir cowok yang selal...