20

1.6K 386 22
                                    

Mauve berjalan lesu menaiki tangga. Matanya pedih dan berat meski sudah tertidur di mobil. Siapa yang peduli dengan kondisi wajahnya. Mauve cuek dengan nyamannya tertidur di mobil Milo.

"Bi, Kak Revan gimana?" tanya Mauve yang berpapasan dengan pengurus rumah

"Udah sehat, Non. Tapi masih di kamar belum keluar."

"Ok, Bi. Aku mau tidur jangan diganggu, ya."

"Siap, Non!"

Mauve masuk ke kamar, melempar tas ke meja, dan langsung merebahkan badan. Dia terlonjak kaget saat menyadari ada Revan di kasurnya.

"Kakak ngapain di kamarku?" seru Mauve sembari menepuk keras Revan yang meringkuk di dalam selimut.

"AC kamar lagi dibenerin," gumam Revan tanpa bergerak sedikit pun.

"Kan ada kamar lain. Aku mau tidur, ih, ngantuk! Minggir nggak?" Mauve mendorong-dorong tubuh kembarannya. Revan dengan sengaja membatu agar Mauve tak bisa mengusirnya. Dia sudah nyaman, malas beranjak, apalagi dia masih lemas.

"Kakak, ih! Nyebelin banget, sih!"

"Kamu aja sana ke kamar lain. Udah PEWE, nih. Aku juga masih lemes."

Mauve yang hendak marah murka mengurungkan niatnya. Dia menyentuh kening Revan. "Udah nggak panas. Pura-pura, nih, pasti!"

"Aku bilang lemes bukan panas. Udah, sana, berat!" Revan menggerakkan bahunya yang ditindih Mauve.

"Awas aja nanti kalau udah sehat nggak jadi ngajarin aku malah belajar sendiri. Aku umumin di sekolah kalau kita itu kembar! Biar kakak malu punya kembaran bego."

Seketika Revan bangun dan menyentuh kening Mauve. "Kamu sehat, kan?"

"Ya, sehat, lah. Emang Kak Revan yang gampang sakit-sakitan."

"Mana ada orang sehat ngatain diri sendiri bego."

Mauve mengerjapkan matanya, awalnya bengong lalu menyadari ucapannya yang tolol.

"Sadar?" tanya Revan sembari menahan tawa.

"Ya maksud aku, tuh.... Ah, tahu, ah."

"Pinter dulu baru bikin pengumuman kalau kita kembar." Revan mencubit kedua pipi Mauve. Gemas dengan kembarannya yang suka ceplas-ceplos tapi kelewat polos.

"Emang kenapa, sih, kalau ketahuan punya kembaran bego? Emang malu banget, apa?" gerutu Mauve sembari turun dari kasur. Dia kesal dari dulu Revan selalu mengancamnya untuk tak memberi tahu orang-orang bahwa mereka kembar. Mauve melempar bantal cukup keras ke wajah Revan. "Rasain!"

"Ck, dasar bocah!"

"Berarti kakak juga bocah," seru Mauve sebelum membuka pintu untuk keluar.

Mauve merebahkan diri di kursi gantung. Semilir angin di teras belakang menerpanya. Matanya mulai terpejam tak peduli seragam masih melekat di tubuh. Dia butuh mmebayar hutang kekurangan tidurnya.

***
Milo merenung di kamarnya setelah mengerjakan latihan soal. Ternyata hidupnya terlalu monoton, hanya di sekolah dan rumah. Dulu memang terasa menyenangkan, menikmati hari sendirian tanpa gangguan. Setelah mengenal Mauve, mencoba hal-hal baru ternyata tak kalah seru dari berdiam diri di rumah bermain game.

Belajar yang biasanya dia lakukan sendirian kini bergabung dengan teman-teman. Main yang biasanya sendirian atau bersama Shaleta saja, kini sering bermain di luar bersama teman-teman.

Milo tersenyum tipis meraih gitar dengan stiker Luffy dan memetik senarnya, rehat sejenak dari belajar dan melamun. Kelas XI terasa berbeda, berinteraksi dengan banyak orang tak sepenuhnya menyebalkan. Meski harus memahami banyak sifat dan sikap seseorang tapi mengenal lebih banyak orang membuat pandangannya lebih terbuka.

Taken SlowlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang