Versi Novel Part 2

397 28 1
                                    

Baru kali ini Milo sangat menantikan bunyi bel istirahat. Dia tak bisa konsentrasi belajar karena Mauve terus melihat ke arahnya. Ingin rasanya dia menjitak kepala Mauve yang sepertinya kosong itu.

"Mau ke mana buru­buru?" Mauve menarik seragam Milo yang hendak bangkit dari kursi panas.

"Ke tempat yang enggak ada lonya."

"Ih, malah enggak asyik kalau enggak ada gue."

Milo menyingkirkan tangan Mauve, lalu keluar dari kelas, berniat mencari Leta. Dia butuh bercerita soal Mauve yang terus mengganggu­ nya.

Seakan sudah ditakdirkan, dia melihat Leta berjalan ke arahnya. Suasana hati Milo berubah seketika. Rasa kesalnya hilang, berganti se­nyum lebar.

"Baru aja gue mau ke kelas lo," ucap Leta.

"Ngapain?"

"Mau cerita soal Kak Him."

"Oh." Ekspresi Milo menjadi kaku meski masih ada sisa senyum. Sepertinya Leta tidak pernah menyadari perasaannya atau mungkin pura­pura tidak tahu. Terbukti tiap bertemu, topik yang Leta bicarakan pasti tidak jauh­jauh dari kakak Aruna itu.

Milo tahu Him terlalu keren untuk dijadikan saingan. Kebanyakan cewek SMA pasti lebih tergila­gila kepada mahasiswa yang dirasa lebih dewasa, sementara Milo cuma bocah ingusan yang baru saja punya KTP.

"Ayo kita pacaran!"

"Hah?" Seperti disambar petir pada siang bolong, Milo terperangah mendengar kata­kata Leta. Kenapa cewek ini tiba­-tiba mengajaknya pa­ caran, padahal baru saja bilang mau bercerita tentang Him?

Milo menelan salivanya perlahan. "Lo ...."

"Iya, lo enggak salah denger. Ayo kita pacaran!"

"Kenapa tiba-­tiba?" Bukannya Milo tidak suka, dia tentu girang bukan main. Namun, dia juga sadar diri.

"Mau nyoba bikin Kak Him cemburu."

Kebahagiaan Milo hancur, bak gelas kaca yang jatuh dari atas meja. Egonya terluka. "Terus, apa hubungannya sama gue?"

"Karena lo satu­-satunya temen cowok yang deket sama gue. Eng­gak mungkin, 'kan, gue pacaran sama Aruna?"

Rasanya, ini bahkan lebih menyakitkan dibanding jika Leta me­nolaknya secara terang­terangan setelah dia mengungkapkan perasaan. Milo patah hati, tetapi kekecewaan yang menyerangnya terasa lebih me­nyesakkan.
Dia menatap lekat Leta yang balas memandanginya dengan raut memohon.

"Gue enggak mau," ucap Milo sembari mengalihkan pandang, me­ milih menatap langit yang terlihat biru dengan sedikit awan putih agar tidak goyah dan terbujuk tatapan cewek itu.

"Kenapa? Ada cewek yang lo suka?"

"Enggak."

"Terus?"

"Karena ...."

"Karena apa?"

"Ya lo enggak cinta sama gue, ngapain kita pacaran?"

"Ayolah! Di film­-film sama novel banyak yang kayak gitu. Cowok biasanya cuek kalau dikejar-­kejar, tapi pas yang ngejar beralih haluan, langsung kelimpungan. Nyariin. Siapa tahu Kak Him cuma perlu di­ sadarkan."

"Bahwa dia nyimpen perasaan ke lo?"

"Siapa tahu, 'kan?" Muka Leta tampak memerah.
Milo bisa saja berkata jahat, bahwa Him tidak punya perasaan apa­-apa kepada Leta, dan sepertinya tidak akan pernah. Namun, dia tidak akan pernah bisa dengan sengaja menyakiti Leta, bahkan ketika cewek itu, tanpa belas kasihan, menyakitinya.

Taken SlowlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang