secarik kertas

3.3K 449 6
                                    

Malam itu, Rihanna menceritakan hal yang seluruhnya bisa ia ceritakan pada Raven, termasuk tentang dunia yang saat ini mereka tempati. Dunia yang ia anggap merupakan sebuah novel.

Flashback.

Lelaki itu memasang raut wajah tak percaya, "sangat tak masuk akal." Ia memalingkan mukanya, "benar-benar, bagaimana mungkin?"

Rihanna mengulum bibirnya, "wajar, kalau kau tak percaya," manik Sapphire itu berkedip. "Tetapi, di novel yang aku baca. Kau benar-benar menjadi anjingnya."

Raven menatap guci yang terletak di sudut ruangan, pandangannya kosong, tetapi kepalanya sedang membayangkan sosok Lumia yang tersenyum manis padanya.

Ia menoleh, setelah membayangkan wajah manis itu ia beralih menatap wajah dengan sorot tajam itu. "Aku tak bisa membayangkannya."

Rihanna tertawa, "ahhahaha!" Lalu Ia menutup mulutnya cepat, suara tawanya tadi begitu keras, bisa-bisa ada pelayan yang menghampirinya. Ia menarik nafas pelan, lalu kembali bersuara, "padahal, di novel. Kau menyukainya sampai menjadi gila."

Raven menghela nafas kasar, "sepertinya kami berbeda orang, kalaupun sama, sepertinya itu murni karangan penulis saja." Ia mendelik tak suka, "menyukai gadis menyebalkan seperti dia? Tak mungkin."

Flashback end.

Malam itu berlalu cukup panjang, setelah lelah menceritakan semuanya pada Raven, Rihanna tertidur di pundak lelaki ber-manik Amethyts itu. Bangun- bangun ia mendapati tubuhnya telah berbaring di kasur. Sepertinya Raven yang memindahkannya.

Setelah berganti pakaian, ia barus sadar kalau ada secarik kertas yang ditinggalkan Raven padanya. Kertas itu hanya bertulisan beberapa kalimat. Tetapi itu cukup untuk membuatnya tertawa di pagi hari.

"Rihanna. Asal kau setuju, aku rela menjadi selirmu. Lalu setelah itu membunuh putra mahkota dan menculikmu jauh dari ibukota. Bila perlu, apa kita kabur ke luar negeri saja?"

dua hari pun berlalu begitu cepat. Dan tak lama lagi, acara perburuan semakin berada di depan mata.

***

"Ibu," panggil Rihanna begitu memasuki rumah kaca milik Duchess, seperti biasa, rumah kaca itu selalu sangat indah dan menawan.

Merasa dirinya dipanggil, dengan anggun, wanita ber-surai hitam itu menoleh pelan dan tersenyum, di bawah sinar mentari pagi, wajahnya terlihat bersinar dan cerah.

"Rihanna?" Tanya wanita paruh baya itu sembari tersenyum lembut, ia menghentikan kegiatannya untuk menyiram tanaman.

Setiap pagi, wanita yang dipanggil Duchess itu selalu berada di rumah kaca untuk merawat tanamannya. Itu salah satu kegiatan yang dilakukannya untuk menutupi kenyataan bahwa ia juga memiliki rasa bosan karena terus terkurung di kediaman Duke akibat penyakitnya.

Rihanna membalas senyum itu dengan senyuman pula. Ia menghampiri wanita paruh baya itu, "bagaimana keadaan ibu?" Tanyanya.

Duchess menghela nafas, "ibu baik-baik saja." ia memandang ke arah Rihanna, "lihat? Ibu masih seperti biasa, sepertinya obat itu benar-benar berkhasiat."

"Ibu," panggil Rihanna pelan, ia mengerutkan alisnya tak suka, "kalau ibu berbohong seperti ini, akan menjadi sia-sia untukku yang telah bersusah payah untuk mendapatkan obat itu." Ia mengalihkan pandangan ke arah lain, "ibu harusnya jujur, bukannya malah berbohong untuk menghiburku."

Duchess tersentak pelan, sudut alisnya naik ke atas, ini sungguh di luar dugaan, setelah sekian lama, ia merasa saat ini mereka benar-benar seperti anak dan ibu. Ini membuatnya merasa haru.

I'M NOT A VILLAINESS!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang