sᴇʟᴀᴍᴀᴛ ᴍᴇᴍʙᴀᴄᴀ
ᴊᴀɴɢᴀɴ ʟᴜᴘᴀ
ᴠᴏᴛᴇ , ᴄᴏᴍᴍᴇɴᴛ , ғᴏʟʟᴏᴡKenapa kalian ngegas?
Cepat kali komennya.ツ
Valetta membuka matanya pelan. Tidur semalam sangatlah memuaskan.
Udah jam berapa? Valetta menoleh ke arah jam yang menunjukkan pukul tujuh pagi.
Valetta melirik sebelah kasurnya, sudah tidak ada Ara.
"Tumben cepat bangunnya," gumam Valetta.
"Udah balik ke kamarnya, ya?" tanya Valetta pada dirinya sendiri.
Valetta membereskan kasurnya lalu pergi ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuh.
Selesai mandi, Valetta sudah berganti dengan pakaian jalannya. Siap-siap untuk pergi ke taman kreasi nanti, sesuai janjinya dengan Ara.
"Ara?" Valetta mengetuk pintu kamar Ara karena dikunci.
Tidak ada jawaban dari dalam sana, Valetta pun jadi khawatir. Ia kembali mengetuk pintu tersebut sebelum akhirnya dibuka oleh Ara.
"Ara lagi ngapain? Kok matanya sembab?" Valetta menunjukkan raut wajah khawatir saat ia melihat wajah Ara sekarang terlihat tidak baik.
"A-ara nangis karena m-mimpi aja," jawab Ara pelan dengan kepala tertunduk, tidak mau beradu tatap dengan Valetta.
Valetta mengernyitkan dahinya bingung. "Ara? Kamu kenapa? Ada masalah? Cerita sama Kakak."
Ara menggeleng cepat. "Enggak kenapa-kenapa, K-kak."
Valetta menghela napas panjang. Sudah yakin ada sesuatu yang salah dengan Ara, tapi Ara tidak mau jujur.
"Gak apa-apa kalau kamu belum mau cerita, tapi mukanya jangan masam gitu, kita mau pergi main, kan, hari ini?"
Ara mengangguk kaku.
Pergi main?
"Sekarang Ara siap-siap dulu, Kakak tunggu di bawah, bisa pakai baju sendiri, kan?"
Mendengar pertanyaan ambigu Valetta. Wajah Ara merona. Cepat-cepat Ara mengangguk dan menutup pintu.
Valetta menyadari gerak-gerik Ara yang malu. Ia hanya tertawa kecil dan berjalan pergi menuju lantai bawah untuk sarapan.
"Tidurnya nyenyak?" tanya Vancia pada Valetta yang baru saja turun.
"Nyenyak, Ma," jawab Valetta.
"Itu ke mana?"
"Itu?" Vancia menoleh ke Valetta, binggung.
"I-iya..."
"Apa?"
Valetta menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Yang b-bakal nikah sama Mama..."
"Ohh... Calon Papa kamu?"
Valetta mengangguk salah tingkah. Masih belum terbiasa memanggil Aiden dengan sebutan Papa, dipanggil Om juga seperti ada yang kurang.
Jika Aiden tau dirinya barusan dipanggil dengan sebutan itu, pasti Aiden akan diam mematung dengan wajah pucat. Merasa gagal menjadi calon Papa.
"Dia udah pergi kerja, kangen, ya?"
Valetta menggeleng. "Bukannya Mama yang kangen?"
"Kamu, ya, tau banget!" sahut Vancia senyam-senyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigo Tapi Penakut | END
Teen Fiction"Gue jadi ekor lo, boleh?" - Axelleon Kastileo. *** Axel itu seorang indigo, tapi dia penakut. Setiap hari Axel harus olahraga jantung dan menangis di dalam hati. Untung saja dirinya sudah terlatih untuk b...