Part 4: Clouds on Us

6.3K 661 23
                                    

Pasca insiden muntah di ruangan Pak Gidhan lalu kabur dari depan Rumah Sakit Universitas di Jalan Margonda itu, ketika Dosen Pembimbing Akademiknya, bersama dengan Mantan Dosen--yang sempat tidur dengan dia hampir sebulan lalu berusaha membawanya ...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pasca insiden muntah di ruangan Pak Gidhan lalu kabur dari depan Rumah Sakit Universitas di Jalan Margonda itu, ketika Dosen Pembimbing Akademiknya, bersama dengan Mantan Dosen--yang sempat tidur dengan dia hampir sebulan lalu berusaha membawanya ke instalasi gawat darurat, Kia memutuskan untuk bolos kuliah. Kalau dihitung sudah sekitar dua hari dia mengurung diri di apartemen.

Kia ingat betul begitu dia turun dari mobil Saga, lelaki yang wajah tampannya dihiasi ekspresi panik dan rasa bersalah itu berusaha membantunya berjalan, dua detik setelah tangan Saga menyentuh pinggangnya, Kia langsung berlari menuju jalan raya dan memanggil taksi. Ia tak lagi peduli dengan teriakan Gidhan atau dengan desah frustasi Saga di belakangnya waktu itu, yang dia pedulikan adalah ketakutannya sendiri. Kecemasannya melambung naik hingga ia harus menutup diri beberapa waktu, menenangkan batin akibat keputusan bodohnya akhir-akhir ini.

Kia tahu ada yang salah dengan tubuhnya, Kia tahu bahwa sesuatu sedang terjadi di dalam dirinya, tapi Kiara Lasenora berpegang teguh pada sikap menyangkalnya. Kalau ke Rumah Sakit mampu membuat ketakutan di kepalanya itu menjadi kenyataan, lebih baik dia menghindar. Lagipula, dia kemarin hanya pura-pura pingsan juga biar tidak disuruh mengepel, bukan karena sakit beneran.

Apalagi hamil, semoga bukan.

Melirik jam dinding beberapa kali, Kia menguap lagi, pukul setengah empat sore dan dia belum sarapan juga melewatkan makan siang. Ia beranjak dari kasurnya ketika bunyi perut sudah tak tertahan. Matanya melihat sekilas pada ponsel yang ia geletakkan begitu saja di meja belajar, batrenya telah habis dari dua hari lalu dan ia tak berniat menchargernya, mungkin beberapa orang mencari dia, seperti Rana, Nora dan Bica, mungkin Papa juga atau bahkan Gidhan yang kemungkinan besar akan bertanya soal keadaannya. Tapi memikirkan bahwa Mama tak mungkin mempertanyakan perihal dirinya membuat dia jadi malas untuk mengisi daya ponselnya itu.

Meski otaknya menolak menchargernya, tangan Kia cekatan sekali memasangkan kabel dan charger ke stop kontak lalu membiarkan ponselnya itu kembali menyala terang.

Barangkali, Pak Saga juga menanyakan keadaannya. Kia menggeleng cepat. Untuk apa dia memikirkan Sagara Adipati? Perempuan itu bergidik ngeri.

Baru saja mencuci muka dan menggosok gigi, Kia berniat memanggang pizza sisa kemarin ketika suara interkomnya berbunyi, mau tak mau Kia melongok ke arah layar dan meringis ketika melihat Bica dan Rana telah berada di depan pintu apartemennya.

"Oke, bilang aja lagi flu terus tutup pintu, Ki," bisiknya pada diri sendiri sebelum Kia menarik kenop.

Rana menghambur masuk ke dalam sedetik setelah Kia membuka pintu apartemennya.

"Kia astaga kok lo belom siap-siap?" Rana mengomel kecil dan duduk di sofa, "bener kan Ca, temen lo nih pasti ketiduran." Ia beralih pada Bica.

Bica menutup pintu dan menyusul Rana lalu berkaca sejenak di ruang tamu

"Ki, cepet siap-siap, kita tunggu."

"Hah?" Kia mengernyit bingung.

"Hape kagak aktif, ditelpon nggak nyambung, disamper dari tadi pagi juga nggak ada kabar, sinting, simulasi mati lo?" Bica memang bermulut pedas mendelik kesal sambil menjitak kepala sahabatnya.

Marrytime ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang