Prolog

192 37 30
                                    

Juli 2009

Anak lelaki itu berjalan dengan langkah yang sedikit diseret. Dadanya bergemuruh amarah, namun tak kuasa ia ekspresikan. Ia hanya bisa menunduk dalam, menahan setiap tetes embun yang mulai berebut untuk turun dari pelupuk matanya. Tangannya meremas kencang tali tas yang ada di pundaknya.

"Eh, anak ayah sudah pulang. Gimana hari pertama sekolahnya?"

Langkah anak lelaki itu terhenti. Perlahan ia angkat kepalanya dan saat melihat sosok yang dirindukan di depan rumah, ia langsung berlari dan melepas tetes embun yang tertahan sedari tadi.

"Eh, eh, lho... Kok nangis? Kangen sama Ayah, ya?"

"Ayah ... emang salah kalo laki-laki suka nulis buku harian?" tanya sang anak disela tangisannya.

Tangan kekar terasa mengelus kepalanya dengan lembut. Desah napas dan bau laut khas milik ayahnya seolah memiliki energi magis. Seketika membuat gemuruh dadanya sedikit mereda.

"Nggak ada yang salah, Nak. Walaupun Aksara laki-laki, Aksara boleh menulis diari, boleh menangis, boleh marah, dan sangat boleh bahagia. Itu yang membuat kita menjadi manusia, Nak," jawab sang ayah lembut. "Kenapa? Ada yang melarang kamu?"

Jelas pertanyaan itu membuat Aksara mengangguk cepat dan anggukan itu berbalas pelukan erat dari sang ayah.

"Masih mau nangis? Atau mau lihat Ayah bawa apa buat Aksara?"

Sebuah kotak berbungkus kertas kado berwarna biru tua dikeluarkan dari tas ransel sang ayah. Aksara menerima kotak itu dan membukanya perlahan dengan hati berdebar-debar. Lalu, netranya melihat buku catatan bersampul hitam lengkap dengan pena yang memiliki ukiran namanya di dalam kotak kado itu.

"Selamat ulang tahun, Aksara-nya Ayah!"

***

Gadis bersepatu merah muda itu terdiam di pojok ruangan. Makanan yang susah payah dibelinya setelah menabung uang jajan selama seminggu direbut oleh sepupunya. Mata sang gadis menjelajah ruangan, mencari ibunya. Dadanya sesak. Ia ingin menangis, tapi tempat ini begitu banyak orang. Ia tidak mau membuat ibunya malu di acara penting ini. Lantas tak lama, ia melihat ibunya berjalan menuju sebuah bangku di seberang ruangan.

"Ma ...," lirihnya ketika menghampiri sang ibu.

Ibunya tersenyum lembut dan mengelus kepalanya. "Kenapa Rasya sayang?"

"Emang boleh, ya, ngerebut makanan punya orang? Sarah ngerebut makanan Rasya, Ma ... Padahal Rasya udah nabung lama buat beli itu biar nggak nyusahin Mama."

Wanita paruh baya di depannya terdiam, seolah sedang menyusun kata-kata. Sembari terus mengelus puncak kepalanya, ibunya berkata, "Rasya, jangan sedih. Berbagi makanan, kan, perbuatan yang baik. Rasya harus berbuat baik sama saudara."

"Tapi, Ma, dia ngerebut paksa."

"Udah, diikhlasin aja. Bikin saudara bahagia itu hal baik, Rasya. Jadi, nggak boleh sebel apalagi marah kalo mau dapet pahala berbagi. Rasya mau, kan, jadi anak baik yang suka berbagi dan nggak gampang marah?"

Saat itu, Rasya hanya bisa mengangguk dan untuk ke sekian kali, menyampingkan perasaannya demi membuat ibunya bahagia.

***

AKSARASYA ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang