Tujuh hari dalam seminggu yang biasanya terasa begitu cepat berlalu, kini seolah berjalan seperti siput. Kuliah, kerja, membantu tesis kakak, dan rutinitas itu terus berulang dalam hidup Aksara hingga akhirnya ia mendapatkan satu hari spesial sebagai penghibur dari rutinitas itu. Hari Sabtu menjadi hari yang paling ia tunggu untuk kembali bertemu dengan Rasya dan mendengar riang suara perempuan itu menggelitik telinga. Tawarannya untuk membantu Rasya mendapat sambutan baik dan ia pun sudah banyak berdiskusi dengan kakaknya perihal cara membantu perempuan berwajah sendu itu.
Selain karena perbedaan jadwal kuliah dan jarak rumah mereka yang tidak dekat, Rasya memahami bahwa Aksara hanya bisa meluangkan waktu di akhir pekan karena harus bekerja selepas kuliah. Lelaki yang terbiasa menghabiskan waktu bersama keluarganya ini pun butuh waktu agar tetap bisa menunaikan kewajiban di rumah sebagai seorang anak. Akhirnya, Kedua pemilik buku hitam ini bersepakat untuk menjadikan hari Sabtu sebagai waktu khusus bagi mereka bertemu dan berdiskusi. Lalu untuk Aksara, hari Minggu akan ia manfaatkan untuk berkumpul bersama keluarganya.
Namun, ternyata Aksara tak harus menunggu selama itu untuk kembali bertemu Rasya. Hari-hari yang berjalan seperti siput seolah menghilang saat ia mendengar salah satu rekan kerjanya bertanya tentang perempuan yang bertemu dengannya akhir pekan lalu.
"Kayaknya dia ada di depan, tuh, di meja 14. Lu janjian sama dia, Sa?" tanya salah satu rekan waiter sebelum akhirnya membuat kaki Aksara menggerakkannya menuju meja yang dimaksud dengan sedikit berlari.
Ada debar yang membuat lelaki dengan apron hitam ini gugup saat tiba di meja nomor empat belas. Netranya mendapati perempuan berkucir setengah, seperti biasanya, dengan baju terusan berwarna biru dongker dan sepatu merah muda. Masih ada dua belas jam sebelum waktu pertemuan yang dijanjikan. Namun sepertinya, sang waktu sedang memahami isi hatinya yang ingin buru-buru bertemu sosok itu.
"Mau pesan apa?" Suara Aksara sedikit berat saat bertanya karena menahan kegugupan yang muncul tanpa permisi. Ia tetap berusaha untuk terlihat profesional dalam melayani, meski yang ada di depannya adalah seorang Rasya Ghaida-perempuan berwajah sendu yang berhasil membuat pikirannya sibuk dengan segala tanya.
Kepala berkucir itu mendongak. "Eh, Aksa!"
Senyum terkembang di wajah itu membuat Aksara mengalihkan bola matanya ke kertas pesanan yang ia pegang, pura-pura mencatat nomor meja atau apa pun yang bisa ia catat.
"Aku nggak pesen. Lagi nunggu papaku aja di sini. Kamu nulis apa?"
Seperti pencuri yang tertangkap basah, gerak-gerik Aksara mulai tidak beraturan. Ia menurunkan pulpen dan kertas pesanan itu dengan pandangan yang bergantian ke segala arah. "Bukan. Enggak nulis apa-apa," racaunya sedikit gagap. "Permisi kalau begitu."
"Eh, bentar!"
Belum sempat berbalik sempurna, Aksara kembali di posisi semula dan diam di tempat menghadap Rasya. Kaku seperti batu, menanti kata yang akan terucap dari bibir yang juga berwarna merah muda itu. Perempuan ini suka warna lembut, merah muda yang lembut, batinnya.
"Soal tawaran bantuanmu ... jadi, kan, besok Sabtu?"
"Jadi."
"Kita mau ngapain?"
Kening Aksara berkerut. "Maksudnya?"
"Em ... enggak. Nggak jadi. Sampai ketemu besok!"
Lagi-lagi senyum itu memunculkan debar yang hampir mereda. Aksara merasa wajah dan telinganya memanas. Rasanya tidak sanggup berhadapan dengan perempuan dengan senyum yang terlihat begitu menawan dalam pandangannya. Lebih baik ia kembali bekerja dan membiarkan waktu berlalu hingga Sabtu datang dengan cerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARASYA ✔ [Tamat]
Teen Fiction[10th WINNER of EDITOR's CHOICES Author Got Talent 2021] "Kalau saja aku menyadarinya lebih awal, kehilangan tidak akan semenyakitkan ini." Ketika takdir mempertemukan Aksara yang kehilangan tujuan hidupnya dengan Rasya yang tak mampu membedakan seg...