6 - Pertemuan Tanpa Nama

55 20 30
                                    

Mencari pekerjaan—apalagi pekerjaan sambilan—ternyata tak semudah bayangan Aksara. Ia telah mengunjungi kafe milik kakak tingkatnya, tetapi sayang di sana sedang tidak buka lowongan. Hampir seluruh kafe sekitar kampus yang ia tuliskan dalam daftar tujuan pun tidak ada yang membuka lowongan kerja sambilan. Sempat ada satu kafe yang membuka lowongan, tetapi jadwal shift yang dibutuhkan tidak cocok dengan jadwal kuliah Aksara.

Lelaki berjaket biru dongker ini hampir putus asa kala sore menjelang. Kelelahannya membuat ia mampir sejenak ke warung kopi untuk duduk dan mengumpulkan tenaga lagi. Ingin rasanya ia mencurahkan kondisi yang di alami hari itu. Namun, saat mengeluarkan buku hitam dari dalam tas, ia baru ingat bahwa buku itu bukan miliknya.

Sambil mendengkus kasar, lelaki ini menggumam, "Apa nyari di kafe sekitar taman kota, ya?"

Aksara tidak berpikir untuk menjadikan kafe serta rumah makan yang menjamur di taman kota sebagai tujuannya. Hal itu disebabkan rumahnya berjarak tiga puluh menit dari sana dan empat puluh menit dari kampusnya. Jika ditarik garis lurus, taman kota menjadi ujung dari tujuan perjalanannya—dengan urutan kampus, rumah, dan taman kota. Jarak yang terlalu melelahkan bagi seseorang tanpa kendaraan pribadi.

Namun, Aksara ingin mencoba peruntungan sekaligus mengambil kemungkinan akan pertemuan dengan pemilik buku hitam yang ada dalam genggamannya. Maka, lelaki ini akhirnya menaiki angkutan umum menuju taman kota.

Lampu-lampu taman di sore hari memperindah suasanya. Syahdu terasa di tengah sorot kuning lampu dan langit yang mulai menggelap. Aksara yang masih berjalan dari satu kafe ke restoran di sekitar sana mulai kehilangan harapan.

"Besok lagi, lah, cari part-time-nya," ujarnya lalu duduk di bangku taman yang sama seperti kemarin.

Menjelang magrib, taman kota mulai sepi. Mungkin orang-orang pun sudah kembali ke rumah masing-masing atau mengunjungi masjid terdekat untuk bersiap melaksanakan ibadah masjid. Satu jam Aksara menunggu sambil memegang buku hitam belum membuahkan hasil—atau memang tidak akan mendapatkan hasil. Ia pun bangkit dan berpikir untuk pulang. Namun, di saat bersamaan mendengar derap lari diiringi suara yang, sepertinya, memanggil dirinya.

"Mas! Mas yang di sana! Mas yang namanya Aksara, 'kan?"

Suara seorang perempuan menggelitik telinga Aksara yang baru menyelesaikan langkah pertama. Ia menoleh dan mendapati perempuan berkucir setengah rambut dengan tas di bahu melambai-lambaikan buku hitam di depan wajahnya.

"Atau bukan?" tanya perempuan itu lagi.

Aksara terkesiap. Ia ingin menjawab, tetapi salah fokus dengan wajah perempuan di hadapannya yang seperti ... habis menangis?

"Oh, kalau bukan, maaf. Berarti saya salah orang." Perempuan itu langsung terduduk lemas di bangku taman yang tadi diduduki oleh Aksara.

"Iya, saya Aksara." Akhirnya jawaban itu keluar dari mulut lelaki yang memegang erat tali ranselnya.

Perempuan yang tadinya menunduk itu lantas mendongakkan kepalanya menatap Aksara. Ada senyum terlukis di wajah yang setengah terengah-engah itu—mungkin karena tadi ia berlari saat menghampiri Aksara. "Alhamdulillah ... ternyata bisa langsung ketemu juga."

Anehnya, senyum itu ditangkap Aksara sebagai senyum yang penuh luka. Senyum yang menahan suatu beban, yang entah mengapa mengusik hatinya.

"Ini bener punya kamu?" tanya perempuan itu sambil menyodorkan buku hitam yang ada dalam genggamannya.

"Iya." Aksara menerima buku itu dan memberikan buku hitam lain yang ada di tangannya. "Ini, yang masih kosong bener punya kamu?"

Perempuan itu mengangguk semangat. "Beneran ketuker, ya, ternyata. Buku kita sama persis."

AKSARASYA ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang