11 - Ketidakmampuan Mendeskripsikan

45 14 29
                                    

Sesuai janji pada kakaknya, Aksara memanfaatkan waktu luangnya pada Sabtu pagi untuk membantu mencari-cari jurnal tentang topik tesis sang kakak. Sebenarnya, sudah sejak Jumat malam dirinya ikut berdiam di kamar sang kakak untuk mendiskusikan jurnal penelitian seperti apa yang dibutuhkan oleh calon psikolog itu. Ia sendiri butuh penjelasan lebih lanjut soal topik yang diajukan oleh kakaknya. Alexythimia.

"Jadi itu termasuk gangguan mental atau bukan, sih, Mas?" ujar Aksara yang netranya masih terpaku di depan layar laptop.

"Bukan. Itu cuma salah satu karakteristik seseorang aja yang nggak bisa ngejelasin perasaannya. Bukan gangguan mental. Karakter, sifat, semacam itu," jawab Andra dengan tangan yang masih sibuk memberi warna pada inti-inti kalimat dalam jurnal di hadapannya.

"Kalo bukan gangguan mental, terus masalahnya apa?"

"Lu udah baca berapa jurnal tentang ini?" Andra malah balas bertanya.

Aksara menaikkan pandangan ke arah kakaknya yang duduk di kursi belajar—karena ia duduk lesehan sambil bersandar ke kasur. "Duh, baru dikit, itu juga Bahasa Inggris banyaknya. Kadang paham, kadang enggak."

"Pantesan!"

"Kenapa? Masih mending gua mau bantuin, sih. Jadi, gimana itu? Masalahnya apa?" Aksara mulai sedikit kesal dengan kakaknya dan berhenti menjelajahi internet.

Andra pun ikut berhenti dari kegiatannya. Ia bukan tipe orang yang bisa multitasking. Jika harus menjelaskan sesuatu, dirinya selalu fokus pada kegiatan menjelaskan itu dengan menatap lawan bicaranya tanpa melakukan hal lain.

"Alexythimia emang bukan gangguan mental. Dia juga bukan istilah yang umum dikenal kalo di Indonesia. Cuma, banyak ahli yang udah neliti soal ini dan pentingnya apa?" Andra menarik napas sejenak pada jeda penjelasannya. "Orang yang nggak bisa ngedeskripsiin perasaannya, apalagi pas konseling, berarti antara dia nggak kenal sama emosinya atau dia memang nggak diajarin buat menerima emosinya. Kalo perasaannya aja nggak bisa dijelasin, gua sebagai calon psikolog kudu cari cara biar tau kondisi dia sebenarnya kayak apa."

"Gimana caranya?" Aksara mulai tertarik dengan pembahasan ini. Ia selalu tertarik perihal hal-hal berbau emosi manusia karena dirinya pun pernah kesulitan mengungkapkan perasaannya. Beruntung, sejak kecil ayahnya mengajarkan semua itu.

Ah, ayah.... Ingatan Aksara kembali memutar memori dengan ayahnya dan membuat hatinya tiba-tiba diliputi oleh kerinduan mendalam.

"Caranya, banyak, sih. Tapi sejauh ini, bisa lewat rekonstruksi kognitif atau bisa juga expressive writing."

Dahi Aksara berkerut mendengar istilah-istilah rumit itu. "Boleh tolong dibahasakan dengan bahasa bumi? Bahasa Anda melangit sekali hingga saya tak mampu memahaminya," ujar lelaki yang sedang menyindir kakaknya dengan bahasa formal jika ada hal-hal yang tidak ia mengerti dari penjelasan sang kakak.

Andra tertawa. "Lu anak Sastra Indonesia kagak ngerti Bahasa Indonesia, gimana, sih?"

"Cih."

"Simpelnya, karena kondisi itu terjadi biasanya disebabkan karena nggak ada pengenalan emosi dari keluarga, atau bisa juga karena anggapan keliru tentang penerimaan emosi, ya, mindset-nya perlu dibenerin dulu. Dikasih tau kalo ngerasa sedih, marah, seneng, atau semacamnya itu nggak apa-apa. Orang yang alexythimic biasanya suka ngelarang diri ngerasain sesuatu atau emang dia nggak sadar sama perasaan itu karena pernah dilarang untuk ngerasain emosi itu."

"Belibet, ah."

"Alah, bilang aja lu males ngerti!" Andra mengacak-acak rambut lelaki yang duduk lesehan di dekatnya itu. "Udah cari ajalah jurnal yang lu rasa sesuai sama penjelasan gua."

AKSARASYA ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang