Aksara tidak tahu bahwa dirinya akan begitu menantikan kabar dari perempuan yang baru dikenalnya beberapa hari lalu. Hari-harinya tidak lagi hanya dipenuhi oleh bait-bait puisi, tetapi seolah setiap menit matanya butuh melihat layar ponsel yang, sayangnya, tidak ada notifikasi apa pun selain grup angkatan dan grup unit kegiatan mahasiswa yang diikutinya—Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia dan Komunitas Bersajak (Komjak).
----
Kau itu siapa?
Tanpa izin mengganggu pikiran, bahkan belum lama dari sebuah pertemuanKau itu siapa?
Tanpa izin mengusik perasaan, bahkan belum pernah ada pertukaran rasa di dalamnya
Kau itu siapa?
Datang dan pergi tak berkabarPun, jika burung hantu datang membawa kabarmu,
Apakah aku boleh berbahagia?
----"Kayaknya akhir-akhir ini lu sering ngecek hape, Sa. Nunggu siapa?" tanya Andra yang sedang membereskan meja makan.
Aksara terkejut dengan pertanyaan kakaknya. Namun, ia menyembunyikannya dengan kembali mengalihkan pandangan ke piring-piring yang sedang di cucinya. Biasanya, tugasnya itu dilakukan selepas makan malam. Akan tetapi, kini tugas rumahnya dialihkan menjadi pagi hari sebelum berangkat kuliah karena malamnya ia harus kerja sambilan di restoran.
"Nggak nunggu siapa-siapa," jawab Aksara tenang. Ia mendengar tawa kecil dari balik punggungnya dan ingin melempar piring pada lelaki yang tertawa itu. Hanya saja, tentu ia tahan karena jika tidak, kakaknya tentu akan membangun spekulasi yang tidak-tidak tersebab reaksi berlebihannya.
"Sa, kapan selo?"
Aksara mengelap tangannya yang basah. Ia sudah selesai mencuci piring dan berbalik menghadap Andra sambil bersandar di tempat cuci piring dengan tangan terlipat di depan dada. "Kenapa memang?"
"Bantuin cari jurnal buat tesis. Mau mulai nyicil lagi, nih, disambi PKPP."
PKPP atau Praktik Kerja Profesi Psikolog adalah kerja profesi yang sedang dijalani Andra sebelum sidang untuk mendapatkan gelar Psikolog. Setelah lulus dari sidang itu, barulah ia bisa menjalankan tesis dan mendapatkan gelar magisternya dan bisa diwisuda.
"Jurnal apaan? Gua, kan, nggak tau banyak soal psikologi selain dari yang sering lu omongin, Mas."
Inilah kondisi normal Aksara kepada Andra. Sejak Aksara SMA, jika tidak ada ibunya, ia dan kakaknya akan menggunakan panggilan 'gua-lu'. Sangat berbeda ketika dirinya sedang terpukul, sedih, atau cemas seperti saat menanti kabar soal ayahnya. Meski demikian, lelaki penyuka hitam ini tetap menjaga kesopanannya pada sang kakak.
"Nanti gua jelasin. Lu bisa baca-baca dulu soal alexythimia."
"Hah? Ale-ale? Minuman itu, mah!"
Andra mendesah ringan dan tertawa. "Kenapa? Lu mau ale-ale? Nih, gua kasih duitnya."
"Ye, serius, Mas. Apaan itu? Ketik coba ketik, kirimin ke gua."
"Kenapa? Biar hape lu bunyi gara-gara diliatin terus nggak bunyi-bunyi?" Andra tertawa dan berjalan menuju kamarnya untuk bersiap-siap berangkat ke rumah sakit jiwa tempat praktik kerjanya.
Aksara mendengkus mendengar ejekan kakaknya. Walau kakaknya tidak salah duga, tetapi rasa malu itu seperti meluap-luap dalam dirinya. Sesaat ia lupa bahwa Andra adalah calon psikolog yang kadang terlalu peka dengan perubahan perilakunya. Bahkan mungkin, tanpa membaca tulisan atau puisi-puisinya, Andra-lah yang bisa diandalkan untuk mengerti dirinya tanpa suara.
"Tapi, Mas bukan cenayang, ya," ujar Andra saat masih menempuh jenjang S1 Psikologi, meluruskan persepsi adiknya yang sering mendengar bahwa mahasiswa psikologi bisa membaca pikiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARASYA ✔ [Tamat]
Teen Fiction[10th WINNER of EDITOR's CHOICES Author Got Talent 2021] "Kalau saja aku menyadarinya lebih awal, kehilangan tidak akan semenyakitkan ini." Ketika takdir mempertemukan Aksara yang kehilangan tujuan hidupnya dengan Rasya yang tak mampu membedakan seg...