13 - Sama yang Berbeda

38 15 17
                                    

Tidak pernah dalam hidupnya Rasya menguras air mata sebanyak itu. Di hadapan laki-laki yang baru dikenal, entah mengapa air mata yang sejak lama ia simpan mampu keluar begitu saja tanpa mampu ditahan. Seumur hidupnya, ia sudah berusaha menjadi perempuan yang kuat dan tidak mudah menangis. Seumur hidupnya, ia sudah berusaha untuk terus baik-baik saja dan membiasakan diri berprasangka baik pada siapa pun. Seumur hidupnya, ia tak pernah mengizinkan dirinya untuk bersedih karena itu tidak ada gunanya.

Seumur hidupnya, Rasya sudah menjalankan harapan mamanya untuk menjadi perempuan tangguh, mandiri, dan selalu mengutamakan kebahagiaan orang lain dibanding dirinya. Namun setelah beberapa sesi konseling ia ikuti, dirinya menyadari satu hal. Fisik dan batinnya tidak pernah baik-baik saja untuk menjalankan semua harapan mamanya.

Rasya selalu berusaha mengerti orang lain tanpa mampu mengerti dirinya sendiri. Ia bilang ia bahagia, tetapi definisi sebenarnya dari bahagia itu sendiri pun tak pernah ia mengerti. Perkataan Aksara saat mereka bertemu membuatnya banyak merenung dan tentunya, ia tuliskan dalam buku hitamnya tentang segala hal yang terjadi, juga pikirannya terhadap kejadian itu. Kini dalam setiap lembar diary yang ditulis, Rasya mulai menyertakan banyak kalimat tanya untuk dipikirkan ulang.

Apakah dirinya harus terus baik-baik saja? Apakah dirinya harus terus mengutamakan orang lain dan tidak boleh marah dengan orang lain? Apa itu bahagia yang sebenarnya?

Setiap kali mengulang tanya, Rasya lagi-lagi mengingat memori yang membuat badannya panas dingin. Psikolognya mengatakan agar ia mempelajari emosi-emosi yang hadir dalam dirinya, tetapi ia masih tak mampu membedakan apa yang ia rasakan pada setiap memori itu. Seperti apakah marah? Apa bedanya dengan kecewa? Seperti apakah senang, sedih, dan kehilangan? Mana dari semua itu yang ia rasakan di setiap memorinya?

"Rasya, ayo sarapan."

Suara seorang wanita dan ketukan pintu kamarnya membuyarkan lamunan Rasya di depan buku hitamnya. "Iya, Ma. Sebentar."

Rasya menatap kembali lembaran yang sudah terisi penuh dengan kata-katanya. Di beberapa tanya terakhir, ia lagi-lagi mengerutkan dahi. Sebuah pikiran terlintas dalam benaknya. Ia perlu untuk menanyakan beberapa hal pada mamanya dan mungkin memberitahu orang tuanya bahwa saat ini ia sedang dalam proses konsultasi dengan psikolog. Setidaknya, agar ada lingkaran terdekat yang mampu mendukungnya menjadi lebih baik lagi—bukan terus menjadi baik-baik saja tanpa mengenal emosi dan dirinya sendiri.

Selama ini Rasya memang merahasiakan tentang pertemuannya dengan psikolog. Ia pun memanfaatkan uang tabungannya untuk membayar biaya konsultasi yang, baginya, cukup menguras dompet. Terlebih, tidak hanya sekali dua kali ia harus mengunjungi psikolog. Mungkin, jika orang tuanya memahami kondisinya, mereka bisa mendukung secara moral dan materi.

Namun, mengatakan yang sebenarnya tidaklah semudah memikirkannya. Hening menyelimuti meja makan dan belum ada sedikit pun percakapan keluar dari mulut orang tuanya. Rasya ingin memulai, tetapi bingung harus mulai dari mana. Apakah perlu dari pembahasan soal kuliah? Atau soal dirinya yang bertemu teman baru bernama Aksara? Atau soal dirinya yang mulai menyukai dunia tulis menulis yang sedikit asing dan penuh kesendirian? Atau dari pembicaraannya dengan Psikolog Rayen?

"Kamu lagi mikirin apa, sayang?" Akhirnya sang mama angkat suara. Nasi goreng yang menjadi menu sarapan pagi itu sudah habis setengah dari piringnya. "Nasi gorengnya nggak enak, ya?"

"Enggak, bukan. Enak, kok, Ma." Rasya tidak berbohong untuk jawaban ini. Masakan mamanya selalu enak, apa pun itu. Ia hanya sedang meluruskan beberapa keruwetan dalam pikiran agar pertanyaan yang bisa membantunya mengarahkan obrolan muncul dari lisannya.

"Tambah sini. Makan yang banyak, sayang."

"Ma, yang pinjem uang ke mama udah pada balikin semua?" Entah mengapa pertanyaan seputar keuangan yang keluar dari lisannya. Rasya tahu, ini akan menjadi topik yang amat sangat sensitif. Apalagi papanya langsung menghentikan sarapan saat mendengar pertanyaannya barusan.

AKSARASYA ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang