----
Tugas mulai banyak. UAS di depan mata. Laporan praktikum udah kayak makanan sehari-hari, apalagi pulang malem. Tadi sempet kepikiran soal omongan Aksara Sabtu kemarin. Dia nawarin buat ikut penelitian tesis kakaknya yang mau angkat tema tentang alexythimia. Oh, aku juga jadi tau, ternyata kondisi yang aku alami ini namanya alexythimia.Untung itu bukan gangguan mental. Cuma kondisi yang terbentuk karena aku emang nggak pernah diajarin soal emosi dan terbiasa nolak emosi. Aku bersyukur banget bisa ketemu Aksara, juga Mas Rayen. Aku seneng karena udah mulai bisa jelasin emosiku dan lebih terbuka. Katanya, it's okay to be not okay, walau Mama kayaknya masih belum bisa terima.
----Rasya masih sibuk menuliskan diarinya hari itu. Praktikum yang membuatnya pulang malam, lagi-lagi dijadikan alasan untuk mampir ke restoran dan pulang bersama papanya. Tentu, ia mengabari Aksara tentang kedatangannya dan berharap bisa membaca puisi baru dari lelaki itu. Biasanya, lelaki pujangga favoritnya ini selalu menulis lebih dari 15 puisi baru setiap harinya. Puisi apa pun, tentang emosi, diri, dan hal-hal yang terjadi di sekitar.
"Nggak mau pesen apa-apa?"
Suara seorang lelaki membuat jemari Rasya berhenti menarikan pena di atas lembaran bukunya. Ia menengadah, mencari mata beriris cokelat yang biasanya terlihat sayu semakin malam melarut. "Kasih rekomendasi dong, Sa! Aku nggak tau mau pesen apa."
Aksara tersenyum dan menuliskan beberapa menu di kertas pesanan dan berlalu meninggalkan Rasya di meja bersofa itu.
"Ih, Aksa! Kamu pesenin aku apa?" Rasya membalikkan badannya karena lelaki itu berlalu ke arah berlawanan dari posisi duduknya.
"Minta rekomendasi, kan? Tunggu aja."
"Eh, bentar ... yah, keburu pergi."
Rasya mendengkus sambil mengetuk-ngetuk pena yang terselip di antara jemarinya. Sebenarnya, ia meminta rekomendasi menu supaya bisa mengobrol sebentar dan melihat Aksara lebih lama. Selain itu, perempuan berkucir setengah rambut ini juga ingin menanyakan lebih jauh perihal penelitian tesis yang ditawarkan oleh kakaknya Aksara. Juga, ia ingin meminta puisi hari ini.
Sembari menunggu pesanannya datang, Rasya melanjutkan catatan hariannya di buku hitam. Sesekali, ia membuka lembar emotion wheel yang pernah diberikan oleh Aksara. Meski lembar itu berulang kali ia gunakan, penyimpanan yang rapi dalam map bening membuat lembar tersebut tidak mudah lusuh. Arti dari setiap emosi pun sudah ia tuliskan langsung di lembar itu. Namun, akhir-akhir ini perempuan bermata lebar itu mulai jarang menggunakan emotion wheel karena dirinya ingin mencoba menerapkan hal yang dikatakan oleh Aksara.
"Perasaan itu dirasa, bukan dipikir dan dilogikakan."
Mengingat perkataan lelaki yang sudah dianggap sebagai sahabat itu membuat Rasya melukis senyum dalam wajahnya. Sejak pertemuan terakhir mereka, ada rasa yang masih belum mampu ia bedakan setiap matanya menatap Aksara dan setiap keduanya bertemu untuk berbagi cerita.
Debar jantung yang kadang tak karuan Rasya nilai sebagai rasa tertarik untuk mendengar setiap cerita dan untuk membaca setiap bait puisi yang ditulis oleh Aksara. Hanya saja, debar itu kadang melambat, bahkan sesekali lebih lambat dari detikan jam setiap telinganya mendengar langkah perpisahan mereka. Dirinya pun menyadari bahwa ada keinginan untuk terus berjumpa-yang beberapa hari lalu menjadi sebuah definisi dari rindu versi Aksara.
Apakah Rasya merindukan Aksara? Apa mungkin beberapa perasaan hadir dalam satu waktu dan berganti dengan begitu cepat? Apa mungkin beberapa rasa ini menandakan suatu hal yang lebih besar?
"Udahan nulisnya?"
Rasya otomatis menghentikan ketukan pena di dagunya saat mendengar suara Aksara. Ia menoleh sambil tersenyum dan melihat lelaki itu membawa nampan berisi sebuah piring bulat lebar di tangan kirinya. Tangan kanannya-terlihat sedikit gemetar-menggenggam gelas kaca dengan minuman berwarna merah muda dan sepertinya terdapat es serut sebagai topping paling atas, bersamaan dengan buah cherry merah.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARASYA ✔ [Tamat]
Fiksi Remaja[10th WINNER of EDITOR's CHOICES Author Got Talent 2021] "Kalau saja aku menyadarinya lebih awal, kehilangan tidak akan semenyakitkan ini." Ketika takdir mempertemukan Aksara yang kehilangan tujuan hidupnya dengan Rasya yang tak mampu membedakan seg...