Rasa penasaran Rasya tak bisa dibendung meski hanya sehari. Pertemuan selepas lalu yang bahkan tak menyisakan nama sebagai lambang sebuah perkenalan membuatnya kembali berjalan menuju taman kota. Hari sudah semakin malam dan dirinya tahu bahwa mamanya akan ribut menelepon jika tak ada kabar kepulangannya. Namun, perempuan kritis ini telah mengantisipasi segala kemungkinan. Ia katakan pada mamanya bahwa hari ini akan pulang bersama sang papa.
Sebenarnya Rasya tidak yakin apakah pilihannya benar untuk kembali menguji peruntungan dengan datang ke taman kota. Lelaki bernama Aksara itu telah mencurangi benaknya dengan puisi-puisi yang tak mampu dilupakan dengan mudah. Membuatnya ingin sekali lagi mencoba pertemuan yang tidak disengaja agar bisa mempertanyakan lebih jauh perihal puisi yang pernah dibacanya.
Kepercayaan dirinya semakin menipis tatkala iris cokelatnya tak melihat siapa pun di seberang—di bangku taman tempat pertemuan pertamanya dengan Aksara. Saat Rasya turun dari motor ojek online yang mengantarnya, ia duduk sejenak di bangku taman yang lain sambil membuka ponsel dan menelepon seseorang.
"Halo, Pa. Papa udah pulang? Hm ... di deket sini, kok. Jangan pulang sekarang, tunggu bentar. Tunggu, ya. Nanti Rasya telepon kalo udah selesai. Iya ... mau ketemu temen. Oke, Pa!"
Telepon ditutup tepat saat Rasya menangkap sesosok lelaki yang duduk di bangku taman seberang. Ia tidak benar-benar yakin bahwa orang itu adalah lelaki yang ia tunggu. Namun, setelah melihat samar-samar gerakan lelaki itu yang membuka buku hitam lalu menggerakkan tangannya untuk menulis, keyakinan Rasya naik lagi. Segera ia bangkit dari duduknya dan menghampiri lelaki itu.
Kebetulan ke sekian. Rasya tidak pernah benar-benar menghitungnya. Ia hanya tahu bahwa suatu hal yang dirasa kebetulan oleh manusia, nyatanya bukanlah sebuah kebetulan. Ada pula yang mengatakan jika kebetulan terjadi tiga kali atau lebih, artinya itu memang takdir. Hanya, untuk yang kedua ini Rasya tidak meyakininya. Prinsipnya satu, jika Tuhan memang menghendaki sebuah pertemuan, maka itu tetaplah takdir—secara kebetulan maupun yang disengaja.
"Eh, beneran ada di sini lagi, dong!" seru Rasya berdiri di samping kanan lelaki itu.
Jika pun pertemuan ini anggap sebuah kebetulan, Rasya tidak setuju karena dirinya memang sengaja pergi ke taman kota itu untuk bertemu dengan Aksara—lelaki dengan puisi yang bermain-main dalam benaknya. Ia tidak tahu jika lelaki ini begitu diam. Atau mungkin, lelaki bertahi lalat di bawah bibir itu diam karena Rasya adalah orang asing?
Perempuan berkucir setengah rambut ini tidak mengerti mengapa ada rasa bersemangat yang menggebu-gebu tatkala ia diizinkan untuk melihat lagi lembar puisi kesukaannya yang ternyata memiliki judul 'Malam'.
"Bagus banget!" refleks Rasya saat matanya menangkap bait-bait yang beberapa hari ini terus bermain dalam pikirannya.
"Kenapa bagus?"
Pertanyaan Aksara membuat Rasya gelagapan. Ia sedikit salah tingkah. Bukan karena penilaiannya terhadap puisi itu adalah kebohongan semata, tetapi ia benar-benar tidak mampu menjelaskan alasan dibalik penilaian 'bagus' yang ia berikan pada puisi itu.
"Nggak tahu, bagus aja. Kalo aku bisa inget, biasanya itu antara bagus banget atau jelek banget. Nah, yang ini bagus banget!"
"Namanya siapa?"
Lagi-lagi, dua kata singkat yang keluar dari mulut lelaki itu membuatnya tercengang, tak mampu berkata-kata. Bisa-bisanya Aksara mengalihkan topik pembicaraan begitu tiba-tiba. Menanyakan namanya? Ah, bukankah pertanyaan itu yang Rasya tunggu? Pertanyaan untuk sebuah perkenalan yang sebenarnya.
"Rasya. Rasya Ghaida," jawabnya sedikit terbata-bata. Ia tanpa sadar mengepalkan tangannya dengan erat.
"Namanya bagus."
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARASYA ✔ [Tamat]
Teen Fiction[10th WINNER of EDITOR's CHOICES Author Got Talent 2021] "Kalau saja aku menyadarinya lebih awal, kehilangan tidak akan semenyakitkan ini." Ketika takdir mempertemukan Aksara yang kehilangan tujuan hidupnya dengan Rasya yang tak mampu membedakan seg...