5 - Perubahan, Permulaan

53 20 11
                                    

Tidak terpikir oleh Rasya jika kepulangannya disambut dengan pertengkaran orang tuanya. Baru saja ia sampai di depan pintu rumah, suara papanya terdengar lebih keras, menenggelamkan kalimat-kalimat mamanya.

Rasya tidak ingin masuk dengan kondisi rumah yang masih tegang. Ia pun memilih untuk duduk di bangku teras dan berusaha mengalihkan pikiran serta pendengarannya. Namun, samar-samar telinganya tetap mampu menangkap isi pembicaraan orang tuanya.

Papanya lelah dengan mamanya yang terus menerus berkorban demi orang lain tanpa memikirkan keluarga mereka.

Perempuan yang masih menggenggam buku bersampul hitam itu lantas mengembuskan napas panjang. Matanya terpejam hingga segala memori tentang pesan-pesan mamanya kembali terngiang.

"Jangan marah sama saudaramu. Anggap aja kamu berbagi sama dia."

"Kalau orang minta tolong ke kita, sebisa mungkin kita bantu. Membahagiakan orang lain itu, kan, hal baik."

"Rasya, utamakan keluarga dan saudara-saudaramu, ya. Kamu anak tunggal, kalo mama sama papa udah nggak ada, yang bisa nolong kamu, ya, mereka."

Saat masih kecil, Rasya hanya bisa menurut dan mengangguk patuh. Toh, dirinya belum benar-benar mengerti apa yang dikatakan mamanya. Satu hal yang terus terpatri dalam hati adalah Rasya Ghaida harus menjadi perempuan yang kuat, tidak boleh menangis, dan selalu membahagiakan orang lain—meski harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri.

Prinsip itulah yang membuat perempuan berbibir tipis ini jarang menyalahkan orang lain dan jarang menangis. Ia selalu mengingat ucapan mamanya dan apa pun yang terjadi padanya selalu dianggap angin lalu. Termasuk pertengkaran orang tuanya petang itu.

"Nggak apa-apa, semua bakal baik-baik aja. Nggak apa-apa, pertengkaran suami istri itu wajar," lirih Rasya sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi. Di saat yang sama, teriakan dan suara barang dibanting dari dalam rumah membuat dirinya tersentak beberapa kali.

Berusaha tidak peduli meski badannya kini gemetar dan jantungnya berdebar cepat, Rasya memejamkan mata. Mungkin saking lelahnya ia di hari itu, lamat-lamat suara pertengkaran tak lagi terdengar dan ia pergi ke alam mimpi.

"Rasya, bangun, sayang. Rasya!"

Suara yang familier di telinga mengembalikan kesadaran Rasya. Ia mengerjap-kerjapkan mata dan tersenyum saat melihat mamanya di sana.

"Kok kamu tidur di luar? Kapan kamu pulang?"

"Udah dari tadi. Aku mau masuk tapi mama sama papa kayaknya lagi ada sesuatu. Jadi, aku nunggu di sini," jawab Rasya lalu menutup mulutnya yang menguap.

Mamanya tertegun. Sedikit salah tingkat karena matanya mengerjap beberapa kali dan terlihat menyimpan banyak pertanyaan.

"Kenapa, Ma? Tadi sama Papa kenapa?"

Wanita yang masih mengenakan blazer abu dengan manset putih di dalamnya menggeleng dan tersenyum. "Nggak apa-apa. Biasa, biar rumah rame aja," jawabnya sambil tertawa kecil. Membuat kesan seolah-olah kejadian yang diketahui anaknya itu hal lucu dan bukanlah hal besar yang perlu dipikirkan.

Sebenarnya Rasya tidak percaya. Jelas. Mana mungkin tidak ada apa-apa jika sampai ada suara benda terjatuh dan terbanting? Namun, ia pun tak tahu harus bereaksi apa selain mengangguk dan menerima jawaban mamanya. Sedikit ingin mengonfirmasi obrolan yang didengar, ia akhirnya bertanya, "Mereka minjem uang lagi, Ma?"

Mamanya mengangguk ragu. "Iya, nggak apa-apa. Bantu saudara. Oh, iya. Bulan ini kita ngehemat dulu, ya. Tabungan Mama lagi kepake buat bantuin Pakdhe Bima bayar SPP-nya Sarah."

AKSARASYA ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang