Rasanya, Aksara ingin memacu motornya dengan kecepatan penuh. Namun, akhir pekan bukanlah pilihan yang tepat untuk menarik gas dengan maksimal karena jalanan penuh dengan para manusia berakhir pekan ke kota. Jantungnya berdebar tak karuan karena perasaan yang campur aduk—merasa bersalah, merasa diburu waktu, dan merasa penasaran sepenting apa jawabannya bagi seorang Rasya Ghaida.
Beberapa lampu merah harus menghentikannya selama kurang lebih tiga sampai lima menit. Perjalanan dari rumah ke taman kota yang seharusnya bisa ditempuh kurang dari tiga puluh menit dengan kecepatan penuh nyatanya harus menghabiskan waktu seperti jika ia menggunakan angkutan umum. Keramaian jalan membuat pikirannya pun semakin ramai dengan beragam pertanyaan. Apakah Rasya marah? Apakah ia melakukan kesalahan? Apakah ia terlihat seperti lelaki yang tidak bertanggung jawab atas janjinya? Apakah ....
Pertanyaan dalam benak Aksara mendadak hilang saat lensa matanya menangkap sosok seorang perempuan dengan kardigan abu-abu duduk sendiri di bangku taman kota. Segera ia parkirkan motor di pinggir taman dan berlari menuju perempuan yang mengkucir setengah rambutnya itu.
"Maaf. Makasih udah tunggu," sapa Aksara dengan napas yang terengah-engah.
Perempuan itu tersenyum. "Santai aja. Maaf juga kalo aku ganggu waktu luang kamu. Hari ini nggak part-time?"
"Enggak. Kalo weekend saya dibolehin libur. Kecuali, di hari kerja ada izin, jadi gantinya bisa Sabtu atau Minggu."
Tak ada kata yang terlontar untuk membalas kalimat itu. Aksara pun merasa sedikit canggung berhadapan dengan perempuan itu lagi, Rasya Ghaida. Ia bahkan masih berdiri sambil memegang tali tas selempang berwarna hitam yang tersampir di pundak kanannya.
"Kamu nggak duduk?" tanya Rasya membuat Aksara sedikit salah tingkah. Ah, ia tidak pernah bertemu dengan perempuan berduaan seperti ini. Biasanya, ia bergaul dengan teman-teman perempuan di kampus pun hanya sebatas untuk kerja kelompok atau presentasi kuliah saja.
"Boleh duduk?" Aksara sedikit menyesali pertanyaan bodoh yang terlontar akibat kecanggungan ini. Ia menarik sudut bibirnya saat melihat perempuan di hadapannya tertawa, lalu duduk menjajari dengan jarak dua jengkal.
Lagi-lagi hening. Hanya embusan angin siang hari yang membelai rambut keduanya. Aksara pun sedikit memperhatikan perempuan di sampingnya itu dalam diam. Ada yang berbeda dengan gaya rambut Rasya hari itu. Sedikit rambutnya dikepang kanan kiri, lalu dikucir jadi satu ke belakang.
"Laper, nggak? Udah siang, makan dulu, yuk. Aku traktir kamu sambil ngobrol lagi." Selalu Rasya yang memulai obrolan. Aksara tidak mengerti mengapa tak ada kata yang bisa ia ucapkan untuk memulai pembahasan mengenai puisinya yang menjadi tujuan utama pertemuan mereka itu.
"Eh, jangan. Bayar sendiri aja," tolak Aksara dengan halus.
"Nggak apa-apa. Lagian aku yang ngajak kamu ketemu. Yuk!"
Rasya sudah berdiri dan berjalan lebih dulu, seolah tak memberi kesempatan pada lelaki yang mengenakan kemeja garis-garis dengan kaos putih sebagai dalamannya. Jelas, Aksara tak diberi kesempatan untuk menolak. Maka ia hanya bisa mengikuti perempuan di depannya dan menyusul agar bisa berjalan bersisian.
"Sejak kapan kamu nulis puisi?"
"Nggak tau. Dari kecil emang suka nulis," jawab Aksara singkat. Rasanya masih sulit untuk bisa baik-baik saja tanpa jantung berdebar tersebab diri yang tak biasa berada dalam kondisi ini.
"Oh, kenapa suka nulis?"
Aksara tidak langsung menjawab. Pertanyaan itu membuatnya kembali teringat sang ayah dan memori indah yang mereka lalui sejak ia kecil. Ia bergumam pelan. Menimbang-nimbang jawaban apa yang bisa diucapkan tanpa menyinggung kisah pribadinya. Bagi lelaki penyuka hitam ini, menceritakan hal pribadi pada orang yang baru dikenal bukanlah hal yang tepat. Setidaknya, perlu hubungan yang lebih dekat agar kepercayaan terjalin satu sama lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARASYA ✔ [Tamat]
Fiksi Remaja[10th WINNER of EDITOR's CHOICES Author Got Talent 2021] "Kalau saja aku menyadarinya lebih awal, kehilangan tidak akan semenyakitkan ini." Ketika takdir mempertemukan Aksara yang kehilangan tujuan hidupnya dengan Rasya yang tak mampu membedakan seg...