25 - Akhir Untuk Awal

49 11 12
                                    

Tidak ada kata yang terucap antar dua manusia yang sedang duduk bersisian di bangku taman kota ini. Aksara tidak tahu mengapa perempuan berkucir setengah rambut itu tiba-tiba menangis di hadapannya beberapa saat lalu. Ia hanya bisa diam dan mengajak perempuan itu duduk di rumput taman sebelum akhirnya berpindah ke bangku taman di seberang.

Rasya pun sama tidak tahunya alasan dari air mata yang mendesak keluar sesaat setelah menatap mata Aksara. Tanpa sadar, dirinya pun mengucapkan sebuah kalimat yang sudah ditahannya sejak lama.

"Aku kangen kamu, Aksara." Perempuan itu mengulang kalimatnya setelah hening menyelimuti mereka. Pandangannya hanya mampu ia tujukan ke paving block yang diinjak oleh sepatu merah mudanya. "Ngeliat kamu tiba-tiba di taman, jujur, aku kaget. Tapi, juga ... seneng karena nggak salah aku memutuskan ke taman hari ini."

Aksara menarik napas panjang. Rasanya, ada kecanggungan yang membatasi dirinya dengan Rasya. "Kamu udah nggak konsultasi sama Mas Rayen lagi?"

Rasya menggeleng. "Aku mau coba bangkit sendiri. Seenggaknya, aku merasa punya orang lain yang bisa bantu aku melewati kondisi ini. Sayang, orang itu tiba-tiba menghilang tanpa kabar."

"Maaf, ya, Ras. Aku nggak bermaksud abai sama chat kamu. Tapi—"

"Tapi, kamu takut aku sedih karena liat tanganmu itu?" sela Rasya yang akhirnya mampu mengangkat kepala dan menatap lelaki di sampingnya. "Aksara, ditinggalin tanpa kabar itu lebih sakit, loh!"

Kepala Aksara berpaling menatap perempuan di sampingnya. Mata mereka bertemu lagi selama beberapa detik. Namun, entah bagaimana, justru tawa yang keluar menengahi keduanya dan membuat mereka seolah menertawai keputusan masing-masing. Kecanggungan yang sempat hadir pun hilang dengan sendirinya. Bersamaan dengan itu, angin berembus dan membuat beberapa bunga dan daun gugur dari pohonnya.

"Jadi, gimana tanganmu? Nggak usah disembunyiin," ujar Rasya saat melihat Aksara yang langsung meletakkan tangan kanannya sedikit ke belakang punggung. "Aku malah pengen coret-coret gips kamu."

"Emang mau ditulis apa?"

"Adalah," timpal Rasya dengan nada sedikit bercanda.

Dua ujung bibir Aksara menaik. Ia pun kembali menempatkan tangan kanannya ke pangkuan. "Alhamdulillah, masih proses untuk bisa normal lagi."

"Kamu habis UAS juga, kan? Terus gimana kemarin pas UAS? Kan, kamu lagi nggak bisa nulis." Rasa penasaran Rasya mulai datang. Ia memang bisa cepat kembali beradaptasi dengan kondisi apa pun. Meski tadi sempat menangis, saat mengetahui bahwa lelaki yang dirindukannya itu baik-baik saja membuat dirinya mampu kembali bersikap normal. Walau sebenarnya, degup jantungnya masih butuh waktu untuk bisa ditenangkan.

"Ya, minta keringanan. Dosen ngasih izin untuk ngerjain soal-soal esai di laptop, tapi harus dalam pengawasan juga. Selebihnya, kan, tugas-tugas makalah yang take home aja. Jadi, bisa minta bantuin Mas Andra juga."

"Oh, iya! Aku ketemu Mas Andra, loh!" seru Rasya seperti habis bertemu artis.

"Iya, dia cerita. Dia nyampein pesen kamu juga."

Mulut Rasya yang sudah terbuka karena akan menimpali dengan cerita-cerita lain, mendadak tertutup. Ia terdiam.

"Kok diem?" Aksara tahu, biasanya, perempuan di sampingnya itu akan terus mengoceh atas berbagai hal yang terjadi. Begitu yang selalu dilakukan setiap mereka bertemu sepekan sekali. Pasti ada saja yang diceritakan oleh Rasya, terlebih soal perkembangannya mengenali emosi.

Rasya menggeleng, lalu tersenyum. "Jadi, kamu nggak akan melarikan diri lagi, kan?"

Mendengar pertanyaan itu, alis Aksara terangkat. Ia mengalihkan pandangannya dari Rasya dan merogoh sesuatu dari dalam tas. "Sebenernya, aku bukan melarikan diri."

AKSARASYA ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang