18 - Bimbang

37 12 19
                                    

Meski lisan Aksara berkata bahwa ada jarak yang ingin dibangun antar dirinya dan Rasya, sejatinya dalam sudut hati hadir sebuah harap untuk semakin dekat. Entah magnet apa yang dimiliki perempuan berwajah sendu itu, hingga dirinya ingin terus berbicara dan berada di samping Rasya. Pertemuan di rumah sakit kemarin membuktikan keraguannya. Obrolan yang mengalir, cerita yang tersampai, dan senyum dari perempuan itu sungguh mendebarkan hati.

Lelaki dengan tahi lalat di bawah bibir ini belum mampu mengartikan perasaannya dengan jelas. Di satu sisi ia ingin berjarak agar tak memunculkan harap yang berakhir kecewa. Di sisi lain, keinginan untuk lebih dekat pun hadir. Apa yang sebenarnya ia inginkan?

"Wah, bisa-bisa piring di rumah kita bisa dipake ngaca semua kalo digosok terus kayak gitu."

Suara Andra membuyarkan pikiran Aksara. Tangannya yang dipenuhi busa berhenti menggosok piring dan berpaling. "Berisik."

"Mikirin apa, sih? Sampe piring jadi korban gosok?" tanya Andra yang bersandar di pintu dapur.

Aksara menggeleng. "Bukan apa-apa."

Langkah Andra perlahan mendekati adiknya yang, akhirnya, mulai membilas piring-piring di hadapannya. "Mikirin cewek itu, ya?"

"Cenayang, ya, lu, Mas?"

"Ya, apa lagi?" Andra tertawa. "Sejak balik dari rumah sakit, lu suka senyum-senyum sendiri. Semangat banget nulis puisi. Udah dikasih ke Ibu belum? Kan, Ibu minta puisi lu buat hiburan juga."

Ah, benar. Seperti ada yang menjentikkan jari di depan matanya, Aksara ingat tentang janji itu. Janji yang menjadi salah satu syarat dari sang ibu agar ia bisa bekerja paruh waktu, yaitu menulis puisi untuk ibunya setiap hari. Padahal, ia tahu, ibunya bukanlah tipe yang bisa menikmati puisinya. Hanya bisa membaca, kemudian menebak perasaan yang ingin disampaikan oleh tulisan itu.

Tidak salah memang. Toh, menulis puisi menjadi salah satu cara Aksara mengungkapkan perasaannya. Bukan berharap agar ada yang mampu menikmati puisinya dengan sepenuh hati.

Kecuali ... Rasya.

"Mas, gua bingung."

Andra hanya menggumam pelan sambil memperhatikan adiknya menata beberapa piring basah.

"Gua inget kata Ayah kalo nggak boleh dan jangan sampai bikin perempuan kenapa-kenapa. Tapi ...." Aksara mulai ragu dan sedikit kesulitan mengungkapkan perasaannya.

"Tapi, pengen ketemu dan deket sama Rasya terus?"

"Fix. Lu cenayang. Gua nggak perlu nulis puisi lagi kalo udah bisa kebaca pikirannya."

Andra mengembuskan napas pelan dan terkekeh. "Nggak gitu. Gua belajar dari pengalaman orang-orang dan pengalaman gua sendiri. Emang ada apa, sih, sama cewek itu? Baru kali ini gua liat seorang Aksara bener-bener tertarik sama cewek."

Rasanya tidak mungkin jika Aksara harus mengatakan bahwa hanya Rasya-lah yang bisa menikmati puisinya dengan sebenar-benarnya. Ia tidak mau membuat kakaknya merasa tidak enak karena hanya menggunakan puisinya sebagai alat bantu memahami perasaannya. Otaknya berputar untuk mencari alasan. "Nggak, cuma pengen bantu dia kenalan sama emosi aja lewat puisi. Dan dia juga seneng karena terbantu."

"Terus, kalo dia udah kenal sama emosinya dan bisa mengekspresikan dengan baik, lu pergi? Apa gimana?"

Itu dia! Pertanyaan yang sama yang selalu Aksara ajukan pada dirinya sendiri. Apakah ia harus pergi setelah tujuan membantu Rasya tercapai? Atau ada hal lain yang ia inginkan?

"Eh, soal tesis gua. Kayaknya nanti bakal butuh subjek penelitian buat uji coba modul terapi." Sepertinya, Andra ingin membiarkan adiknya itu berpikir sendiri dan menemukan jawaban atas pertanyaan sebelumnya. Ia pun mengalihkan topik agar tidak memberi tekanan yang mampu membuat adiknya semakin sering diam dan melamun.

AKSARASYA ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang