Pintu rumah yang terbuka lebar membuat Aksara kembali berlari setelah sebelumnya ia berhenti untuk menghela napas panjang. Kabar mengejutkan yang dibicarakan oleh beberapa temannya di kampus membuat ia meninggalkan kelas siang tanpa pikir panjang. Ia hanya ingin memastikan. Ia hanya ingin pulang.
"Bu ... Ibu!" teriaknya, bahkan sebelum memasuki rumah.
Tampaknya, tak ada lagi yang perlu dipastikan. Rumahnya sudah penuh dengan tetangga dan suara keras dari televisi membuat kakinya lemas, hingga ia terduduk begitu saja.
"KRI Nakula 204 yang hilang kontak saat melakukan latihan gabungan di perairan Laut Jawa membawa 50 awak kapal. Seluruh awak, termasuk Komandan Kapal Selam Letkol Bayu Ambarama, masih dinyatakan hilang. Panglima TNI dan seluruh jajarannya sudah membentuk posko darurat untuk ...."
Telinganya tidak lagi mampu mendengar pewarta berita karena kini Aksara hanya mampu mendengar samar-samar bisikan tetangga yang mengasihani ibunya. Sadar bahwa bukan saatnya untuk diam, ia pun bangkit dan mendekati ibunya yang terduduk lemas di depan televisi.
"Ayah selamat, Bu. Insyaa Allah, Ayah selamat," ujar Aksara berusaha menahan getar yang terasa di bibirnya. Ia merengkuh pundak ibunya dan menepuk pundak rapuh itu perlahan.
Nuri—ibu Aksara—tersenyum lemah. Wanita paruh baya itu memegang tangan kiri Aksara dan menggenggam erat. "Kakakmu udah pulang?"
"Belum. Aksa belum liat Mas Andra, Bu."
"Ya sudah. Kamu ganti baju sama salat zuhur dulu. Doakan supaya Ayahmu masih dilindungi sama Allah."
Ada keberatan yang muncul saat ibunya mengatakan kalimat itu. Benar, dia memang belum salat zuhur karena azan baru berkumandang saat ia tiba di gang rumahnya. Benar, dia harus terus berdoa agar ayahnya selamat dan bisa kembali berkumpul dengan mereka. Namun meninggalkan ibunya bersama para tetangga? Rasanya itu bukan pilihan tepat. Aksara khawatir, para tetangga ini bisa melemahkan semangat ibunya.
Sekali lagi Aksara memastikan. Ia tatap manik cokelat sang ibu dengan kening yang sedikit berkerut.
"Habis salat, kamu bisa nemenin Ibu, Nak."
Ah, ibu mana yang tidak mengerti isi hati anaknya. Aksara pun bangkit dan berjalan menuju kamarnya ketika ia mendengar suara kakaknya memberi salam.
Alhamdulillah, Mas Andra bisa nemenin Ibu pas aku salat, batinnya.
Dalam benak Aksara, berbagai kemungkinan muncul. Kemungkinan ayahnya kembali dengan selamat, kemungkinan hanya tubuh ayahnya saja yang kembali, dan bahkan kemungkinan terburuk—ayahnya benar-benar tidak kembali lagi.
Tidak! Perputaran kemungkinan itu membuat Aksara tidak fokus pada ibadahnya. Sekuat tenaga ia mengembalikan fokusnya, sekuat itu pula air mata menerobos pertahanannya. Tetes demi tetes membasahi pipinya, seiring dengan setiap bacaan salat yang ia ucapkan. Entah kapan terakhir kali dirinya beribadah dengan penuh penghayatan seperti ini.
Satu hal pintanya pada Tuhan.
Aksara ingin ayahnya kembali. Utuh, tanpa ada yang kurang satu pun.
Usai salam terakhir, Aksara duduk lama dengan kedua tangan yang menutupi wajah. Air mata tak henti mengalir dari pelupuk, napasnya mulai pendek, dan dadanya seperti tertindih batu. Ia tidak bisa memperlihatkan wajah ini pada ibunya. Ia harus tegar.
"Tidak ada yang salah dengan laki-laki yang menangis."
Tiba-tiba kalimat itu terlintas dalam benaknya. Suara sang ayah terngiang di telinga, membawanya menelusuri memori masa kecil bersama ayahnya.
"Laki-laki memang harus kuat supaya bisa menjaga keluarganya. Tapi, nggak ada salahnya kalau sewaktu-waktu ia lemah dan nangis. Jadi, kalau Aksara sedih, nangis aja," ujar ayahnya setiap kali Aksara menahan diri untuk tidak menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARASYA ✔ [Tamat]
Teen Fiction[10th WINNER of EDITOR's CHOICES Author Got Talent 2021] "Kalau saja aku menyadarinya lebih awal, kehilangan tidak akan semenyakitkan ini." Ketika takdir mempertemukan Aksara yang kehilangan tujuan hidupnya dengan Rasya yang tak mampu membedakan seg...