Epilog

45 10 14
                                    

Oktober 2026

Antrean peserta peluncuran pertama buku "1001 Prosa Rasa" yang menunggu giliran untuk bisa meminta tanda tangan sang penulis mengekor hingga pintu masuk toko buku. Aksara yang sedang sibuk berbalas senyum dengan para calon pembaca bukunya tampak mulai gelisah karena sosok yang dinanti sejak awal acara tak kunjung muncul. Namun, ia berusaha memendam kegelisahannya agar mampu melayani permintaan tanda tangan hingga acara benar-benar selesai.

Sesekali tangan kirinya merogoh tas selempang berwarna biru dongker yang ia letakkan di pangkuan. Berharap ketika sosok yang dinanti tiba, semuanya sudah siap sedia tanpa satu kesalahan pun. Matanya terus melirik ke barisan peserta yang tiada habisnya. Pikirnya, mungkin sosok itu tak terlihat karena banyaknya manusia yang menghalangi pintu masuk.

Tenggorokan Aksara mulai kering setelah hampir satu jam nonstop membalas obrolan para peserta yang bergilir meminta tanda tangannya. Beruntung, antrean itu mulai terlihat semakin pendek dan manusia yang berbaris di sana sudah bisa dihitung dengan satu tangan saja. Saat peserta terakhir berlalu dari hadapannya, ia mengembuskan napas panjang sambil menyandarkan punggung ke sandaran kursi dan meregangkan tangan.

Air mineral yang tinggal setengah botol itu langsung diteguk Aksara hingga tak bersisa. Namun, usai melepas dahaga, tiba-tiba ada sebuah buku yang disodorkan lagi di atas mejanya.

"Halo, Mas Aksara! Boleh dong, minta tanda tangannya!"

Aksara yang awalnya menunduk karena sedang mengecek pesan tak berbalas di ponselnya lantas tertegun. Ah, suara ini. Secercah senyum kembali terlukis dalam wajahnya bersamaan saat ia mendongak menatap pemilik suara itu.

"Baru dateng? Udah selesai, lho, acaranya," ujar lelaki bertahi lalat di bawah bibir itu dengan tatapan yang dalam.

"Enak aja! Dari tadi aku ada. Cuma, ngumpet aja biar nggak ganggu konsentrasi kamu." Perempuan dengan baju terusan merah muda dan rambut yang dikucir setengah itu tertawa kecil. "Kenapa? Nyariin, ya?"

Aksara berdeham, lalu mengambil penanya kembali. Ia membuka lembar pertama bukunya yang disodorkan oleh perempuan itu. "Mau ditulisin apa di sini?"

"Hmm ... tulisin 'Untuk Rasya yang baik hati, manis, dan tidak sombong. Semoga cepet ketemu jodohnya!' Gitu, ya! Harus sama persis."

"Kalo aku nggak mau?" Nada bicara Aksara terdengar sedikit mengejek.

"Ih, parah! Harus mau!"

Aksara menggeleng cepat.

Respons itu membuat Rasya mendelik dan bibirnya mulai maju dua senti. "Emang mau nulis apa? Jangan aneh-aneh pokoknya!"

Dengan senyum miring, Aksara mengabaikan kalimat Rasya dan jemarinya mulai menggerakkan pena di atas halaman pertama buku itu. Sebelum menyerahkan pada perempuan di hadapannya, ia mengeluarkan sebuah kantong kecil berwarna merah muda dari dalam tas. "Nih!"

Kerutan muncul dari kening Rasya. "Ini apa?"

"Dibuka habis kamu baca apa yang aku tulis, ya."

Rasya pun membuka lembar pertama buku itu. Tidak ada tanda tangan Aksara di sana, melainkan sebuah puisi yang berhasil membuat wajahnya panas, jantungnya berdebar cepat, dan genangan air hadir di pelupuk matanya.

----
Setiap detik aku bersyukur, atas takdir-Nya yang menghadirkanmu
Setiap detik aku berdoa, agar takdir berpihak pada aku dan kamu
Setiap detik aku berharap, menjadi salah satu penyebab kebahagiaanmu
Setiap detik itu pula aku berencana, hingga hari ini tiba

Hari saat keberanian ini hadir, menawarkan sepenuh hatinya padamu

Tali yang belum tertambat itu,
maukah kau mengikatnya padaku?
----

Usai membaca sebait puisi yang menggetarkan jiwanya, Rasya pun membuka kantong merah muda dalam genggamannya. Sepasang cincin dengan permata di tengah dan memiliki ukiran bertuliskan 'Aksarasya' di bagian dalamnya.

Aksara berdiri dari kursinya dan berjalan ke samping Rasya. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal sebelum akhirnya buka suara. "Aku ... udah bilang Ibu dan Mas Andra. Kalau kamu bersedia, setelah ini aku ... Ehm, kami ... bakal langsung ke rumah ketemu Pak Bima dan mamamu. Gimana, Ras?"

Tak ada kata yang mampu diucapkan Rasya. Perempuan itu hanya terdiam dan terus memandang lekat sepasang cincin di atas telapak tangannya. Bersamaan dengan kepalanya yang terangkat, tetes bahagia itu meluruh di pipinya. Ia mengangguk dan tersenyum lebar, menahan diri agar dorongan hati untuk memeluk lelaki di depannya itu tidak menguasai diri.

Keduanya pun berbalas senyum selama beberapa saat, sebelum akhirnya bergegas mempersiapkan pertemuan bahagia antar dua keluarga.

***

~TAMAT, 14 SEPTEMBER 2021~

~TAMAT, 14 SEPTEMBER 2021~

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih buat kalian semua yang sudah mengikuti kisah AKSARASYA!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Terima kasih buat kalian semua yang sudah mengikuti kisah AKSARASYA!

Jangan lupa tinggalkan jejakmu, ya! 💖

Salam sayang,
anisanza

🌸🌸🌸

AKSARASYA ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang