Tetangga sekitar rumah mulai kembali ke kediaman mereka masing-masing selepas mengucap belasungkawa dan memberi dukungan untuk bangkit pada keluarga Letkol Bayu Ambarama. Andra hadir di sana mendampingi ibunya yang selalu menampakkan wajah penuh ketegaran. Meski kadang ada air mata yang menetes dari mata sang ibu, tak pernah hilang senyum lembutnya dari wajah itu—hal yang kadang sulit Andra mengerti. Ibunya begitu tegar di hadapan orang lain padahal Andra tahu, hati ibunya begitu terpukul.
Andra banyak belajar dari kasus para klien yang pernah ia tangani selama praktik kerja profesi. Klien-klien yang mengaku sulit melanjutkan hidup setelah ditinggal orang kekasih, hingga yang merasa semua sudah baik-baik saja, tetapi nyatanya luka yang tertinggal masih menganga dan belum kering. Dari pengalaman itu, lelaki sulung ini sudah mempersiapkan diri lebih dulu untuk segala kemungkinan terburuk saat kabar hilangnya kapal yang membawa ayahnya terdengar di berbagai media.
Nyatanya, Andra masih belum siap. Rasanya ia ingin ikut menangis untuk mengekspresikan kedukaannya, tetapi semuanya ia tahan demi Aksara. Dan sebagai kakak, tentu dirinya punya peran penting untuk menenangkan dan menjadi sandaran sang adik.
Andra sering menengok ke arah kamar Aksara. Adiknya itu belum makan dari pagi dan tidak ada tanda-tanda bahwa pintu kamar pernah terbuka. Rasa khawatir mulai menyelinap di dadanya.
"Mas, itu masih ada nasi goreng dari tetangga. Bawain ke kamar buat Aksa, ya," titah ibunya saat Andra masih membereskan sampah di dapur.
"Iya, Bu. Ibu istirahat, ya, di kamar. Nanti kalau butuh apa-apa, misscall aja. Biar aku yang nyamperin Ibu."
Ibunya mengangguk lemah dan mengelus punggung Andra sebelum berjalan menuju kamar. Sebenarnya, Andra senang jika para tetangga bisa menjadi support system untuk ibunya. Namun, ia pun tak tega melihat ibunya yang sedang berkabung harus meladeni segala tanya maupun kalimat basa-basi dari mereka yang berkunjung. Batin ibunya sedang lelah, jika fisiknya pun ikut lelah, Andra khawatir ibunya akan sakit.
"Ah, iya, Aksara."
Tidak hanya ibunya, Aksara pun menjadi fokus perhatiannya. Adiknya yang memang pendiam dari kecil menjadi semakin diam sepulang dari acara tabur bunga kemarin. Jika tidak ditanya atau dihampiri, Aksara jarang mengungkapkan perasaannya secara lisan. Adiknya itu sudah terbiasa mengekspresikan perasaannya dalam tulisan sejak kecil.
"Aksa, Mas boleh masuk? Kamu belum makan dari pagi, lho. Ini ada makanan buat isi tenaga," ujar Andra dengan satu tangan membawa semangkok nasi goreng dan tangan lainnya mengetuk pintu.
Tidak ada jawaban.
Andra pun mencoba membuka pintu kamar yang ternyata tidak dikunci itu. Ia melihat Aksara yang sedang duduk di lantai, bersandar di dinding, dengan buku-buku hitam berserakan di sekitarnya.
"Sa, makan dulu ...."
Aksara masih tidak menyahut. Netranya terfokus pada satu titik di hadapannya.
Andra mendekati adiknya. Ia mengikuti arah pandang sang adik dan mendapati salah satu halaman buku hitam dengan tulisan, Aksa janji bakal jadi pujangga terbaik biar Ayah bangga!
Ada ngilu yang hadir di dada Andra. Ada yang mencekik leher hingga membuatnya sulit menelan air liurnya. Ia ingin buka suara, menenangkan adiknya atau setidaknya memberi ruang untuk berkeluh kesah sebebas mungkin.
Andra menjajari adiknya, memegang pundak yang mulai bergetar. "Sa ...."
"Aksa suka puisi, Mas, karena Ayah. Aksa suka tulis juga karena Ayah. Ayah tahu kalau Aksa selalu sulit mengatakan keinginan dan perasaan Aksa makanya Ayah ngajarin Aksa nulis. Ayah tunjukin semua karya penulis puisi kesukaan Ayah supaya Aksa bisa jadi salah satunya. Tapi ...." Air mata mulai menetes di pipi Aksa. "Tapi buat apa Aksa nulis kalo Ayah udah nggak ada?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARASYA ✔ [Tamat]
Teen Fiction[10th WINNER of EDITOR's CHOICES Author Got Talent 2021] "Kalau saja aku menyadarinya lebih awal, kehilangan tidak akan semenyakitkan ini." Ketika takdir mempertemukan Aksara yang kehilangan tujuan hidupnya dengan Rasya yang tak mampu membedakan seg...