Jemari Rasya membolak-balikkan setiap lembar buku hitam di pangkuannya. Lembar itu hampir penuh dengan segala tulisan dan diari yang diabadikan, juga terisi oleh bait-bait puisi dari pujangga favoritnya, Aksara. Sejak kejadian beberapa malam lalu, lelaki pujangga itu masih tak bisa dihubungi meski Rasya terus mengirimkan pesan singkat menanyakan kabarnya. Bertanya pada papanya pun tak ada hasil. Terlebih, papanya memang menyuruh Aksara untuk istirahat dan tidak bekerja dulu sampai benar-benar pulih.
"Pasti tangannya sakit banget, sih," gumam Rasya pelan. Perlahan, matanya terpaku pada sebuah puisi yang pernah dikirimkan Aksara lewat pesan singkat. Ya, lelaki itu sering mengirimkan puisi untuk membantunya menganalogikan rasa dengan lebih logis dan tentunya Rasya mengabadikan setiap puisi yang terkirim dalam buku hitamnya.
----
Bagimu ...
Berdiri akan terus jatuh
Mencoba akan terus gagal
Melangkah akan terus mundur
Dan air mata mengikis hatimuSedikit saja tersentil
Roboh setiap jengkal tameng yang
susah payah terbangunKadang memang tak disadari
Seberapa kuat kaki berdiri
Namun, satu hal yang perlu kau tahu pasti
Aku ingin mendampingiKamu.
Yang ingin terlihat kuat,
Namun begitu rapuh terlihat(Rapuh – Buku Hitam Aksara)
----Rasya tersenyum tipis. Membaca puisi itu seperti menghadirkan Aksara di sampingnya, di bangku taman tempat keduanya biasa bertemu. Perempuan bersepatu merah muda ini pun menarik napas panjang dan bergumam lagi, "Mana? Katanya mau mendampingi sampai aku bisa ngerti soal rasa. Nyatanya, sampai sekarang, kamu nggak bisa dihubungi."
Ada nyeri yang terasa di sudut hati Rasya. Nyeri yang serupa saat Ammar, mantannya, memutuskan hubungan mereka hanya karena merasa semuanya hambar. Apa Aksara juga merasa seperti itu? Bukankah lelaki itu justru ingin membantu Rasya agar semakin mengerti perihal rasa?
Entahlah. Pikiran-pikiran terus beradu dalam benak Rasya. Segala kemungkinan yang mampu menenangkan hatinya pun ia gumamkan. Mungkin Aksara sedang pemulihan. Mungkin Aksara juga ingin istirahat. Mungkin ... bukan berarti lelaki itu tak mau berhubungan dengannya lagi, kan?
Lamunan Rasya disadarkan oleh bunyi alarm dari ponsel di tasnya. Sudah saatnya ia mengunjungi biro konsultasi karena ada jadwal di hari Sabtu ini, seperti biasa. Lokasi konsultasi yang tak jauh dari taman kota membuat perempuan berkucir setengah ini memilih untuk berjalan saja selagi masih ada waktu sebelum janji konsultasi.
Setelah konsultasi berlangsung, tampaknya ini akan menjadi hari terakhir Rasya melakukan konsultasi bersama Rayen. Hasil evaluasinya semakin bagus dan psikolognya itu merasa ia sudah bisa berdiri sendiri tanpa konsultasi lanjutan.
"Tapi, Mas, kalo aku ngerasa nggak enak lagi gimana?" lirih Rasya saat Rayen menyampaikan perkembangannya. "Kayaknya, aku masih belum bisa menerima kalau mamaku ... ehm, aku harus gimana kalo ngerasa nggak enak lagi?"
Rayen tersenyum mendengar pertanyaan kliennya. "Kamu udah belajar untuk menyadari emosi. Sekarang, tinggal cara mengontrolnya. Setiap ada rasa nggak enak yang hadir, sadari, emosi apa yang kamu rasakan? Setelah itu, coba kontrol dengan bertanya sama dirimu, kira-kira apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi gejolak emosi?"
Kening Rasya berkerut. "Aku terbiasa buat nge-ya udah-in aja. Tapi katanya itu menolak emosi."
"Ya udah-nya itu mengabaikan atau melepaskan? Coba dibedakan. Kalau dengan melepaskan begitu aja kamu udah lega, nggak masalah, Mbak Rasya. Tapi, kalau kemudian masih ada ganjalan yang terasa setelah nge-ya udah-in, bisa jadi itu kamu lagi menolak emosi. Nah, ketika masih ada ganjalan, mungkin pilihannya salah satu di antara ini." Rayen mengeluarkan jari telunjuk dan jari tengahnya. "Menyampaikan apa yang kamu rasakan ke orang yang menyebabkan emosi itu hadir atau belajar menerima dan melepaskan dengan berusaha memahami orang itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARASYA ✔ [Tamat]
Teen Fiction[10th WINNER of EDITOR's CHOICES Author Got Talent 2021] "Kalau saja aku menyadarinya lebih awal, kehilangan tidak akan semenyakitkan ini." Ketika takdir mempertemukan Aksara yang kehilangan tujuan hidupnya dengan Rasya yang tak mampu membedakan seg...