17 - Harapan, Kenyataan

30 12 7
                                    

Lobi Rumah Sakit PMI, salah satu rumah sakit dengan layanan terlengkap di kota, sedang ramai oleh para calon pasien. Luasnya lobi membuat Aksara sedikit kebingungan karena ia belum pernah ke rumah sakit sebelumnya. Biasanya, hanya dokter praktik dekat rumah saja yang ia kunjungi, jika dirinya atau salah satu anggota keluarganya sakit. Bahkan menjenguk teman yang sakit pun seringnya di rumah mereka, bukan di rumah sakit. Pengalaman pertama ini ia dapatkan karena perempuan berwajah sendu yang terus mengusik hatinya.

Mata lelaki berkaki jenjang ini memutari lobi, mencari-cari ke mana arah ia harus pergi atau siapa yang kiranya bisa ditanyai. Kepalanya sedikit pusing tersebab keramaian dan bau rumah sakit yang sangat tidak familier baginya. Aksara pun berjalan ke pinggir lobi dan tidak sadar menabrak seorang lelaki ber-snelli.

"Oh, Maaf, Dok," ujar Aksara refleks.

Lelaki ber-snelli itu tersenyum. "Nggak apa-apa. Ada yang bisa saya bantu? Kayaknya Mas-nya lagi cari sesuatu."

"Saya mau ke Paviliun Mawar ...." Lisan Aksara tak melanjutkan kalimatnya. Matanya terpaku pada papan nama yang terpasang di snelli lelaki itu bertuliskan Psikolog Rayen. "Eh, Mas-nya psikolog di sini?"

Rayen mengikuti arah tatapan Aksara dan mengangguk. "Iya."

"Oh, kenal sama Adyatama Rafandra?" Pertanyaan itu membuat lelaki di hadapan Aksara mengerutkan dahi. Dirinya pun sedikit panas dingin karena tiba-tiba menanyakan soal kakaknya kepada psikolog itu. Masalahnya, kalau bukan karena permintaan kakaknya, ia pun tidak akan peduli dengan orang-orang yang ditemuinya tanpa sengaja.

"Oh, ya! Andra, ya. Kamu siapanya? Adiknya?"

"Iya." Aksara ingin cepat-cepat menunaikan amanah ini. "Salam dari Mas Andra. Saya pikir nggak akan ketemu. Tapi katanya, kalo saya ketemu Psikolog Rayen, nitip disampaikan salam."

Lelaki itu memasukkan tangannya ke saku snelli sambil tertawa kecil. "Iya, saya yang supervisi dia buat praktik kerja profesinya. Sekaligus pembimbing tesis. Namamu siapa?"

"Aksara, Mas."

Mendengar namanya, Rayen terlihat mengeluarkan sesuatu dari saku snelli. Sebuah buku hitam yang sangat familier di mata dan ingatan Aksara. Buku hitam yang sama seperti miliknya dan sejauh pengetahuannya, hanya Rasya yang memiliki buku itu.

Ah, nggak cuma satu toko buku yang ngejual buku yang sama, kan? batin Aksara yang masih memperhatikan lelaki beralis tebal di depannya. Jemari lelaki itu membuka lembar demi lembar buku hitam secara perlahan dan berhenti di salah satu halaman, lalu mengangguk.

"Tadi kamu mau ke Paviliun Mawar, kan? Naik aja ke lantai 2 pakai eskalator itu. Nanti, Paviliun Mawar persis di depannya."

Aksara mengangguk dan berterima kasih pada lelaki yang ternyata merupakan pembimbing tesis kakaknya. Meski pikirannya masih sedikit terganggu dengan buku hitam tadi, ia berusaha menepis segala dugaan. Tanpa sadar, tangannya terus menyentuh bagian depan tas selempangnya yang menjadi tempat buku hitam miliknya. Kini pikirannya ia fokuskan untuk bertemu Rasya dengan segala persiapan yang sudah ia bawa dalam tas—selain buku hitam berisi puisi-puisi untuk perempuan itu.

Setibanya di depan pintu bernomor 2410, Aksara mengembuskan napas panjang sebelum mengetuk pintu. Saat dirinya membuka pintu, langkahnya tertahan untuk masuk. Netranya melihat Rasya yang duduk di atas ranjang, ditemani oleh seorang wanita dan pria yang tak asing baginya. Pak Bima ... beneran papanya Rasya?

"Assalamualaikum." Kecanggungan dalam ruangan Aksara isi dengan sebuah salam yang dibalas lirih orang orang-orang di dalamnya.

"Akhirnya, dateng juga!" seru perempuan yang rambutnya terurai sebahu.

AKSARASYA ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang