---
Apa yang dicari dari sebuah peruntungan?
Bukankah hidup sudah terlampau adil?
Mungkin, usaha yang dirasa cukup masih kurang
Hingga hasil pun, tak sepadan
---Di sela waktu sebelum kuliah dimulai, Aksara terus menulis berbait-bait ungkapan hatinya. Pikiran akan pencarian kerja sambilan yang belum membuahkan hasil, kuliah yang mulai membosankan tanpa tujuan, dan bayangan wajah perempuan itu.
Wajah perempuan yang mengembalikan bukunya kemarin sore masih jelas tergambar dalam benak karena Aksara merasa pernah melihat raut penuh beban itu. Garis-garis wajah yang menyimpan duka, kesedihan, dan sedikit keputusasaan. Di mana ia pernah menyaksikan raut wajah yang serupa? Dan ... ah, ia tidak tahu siapa nama perempuan itu.
"Eh, Aksa! Masih cari part-time-an?" Seorang lelaki berjalan mendekati mejanya.
"Masih, Bang. Kafe Bang Bonang beneran nggak ada lowongan apa gitu? Jadi tukang cuci juga nggak apa-apa, deh," tawar Aksara sedikit memelas. Ia menutup buku hitamnya dan memasukkan ke tas.
Lelaki yang dipanggil Bang Bonang itu tertawa. "Duh, sorry, bro! Kafe gua beneran lagi nggak bisa nambah karyawan. Tapi, kalo di tempat laen mau nggak, lu?"
"Di mana?"
"Ada kenalan gua, punya kafe semi restoran gitu, sih. Tapi, deket taman kota. Doi lagi butuh waiter soalnya ada yang habis resign dua orang. Kalo lu mau, gua kasih tau orangnya."
"Jadwalnya bisa disesuaiin sama kuliah?"
"Santai, bisa diobrolin." Bonang menepuk pelan pundak Aksara.
Kening Aksara berkerut. Menimbang-nimbang tawaran yang datang dengan cuma-cuma. Hatinya tak bisa berbohong jika sebenarnya keinginan menjadi barista masih menjadi yang utama karena tidak terlalu sibuk mengantar pesanan ke sana ke mari. Masih ada ruang baginya untuk menulis bait-bait puisi. Namun, menjadi waiters? Ia tak pernah menduganya.
"Kelas udah mau mulai, tuh. Nih, gua kasih nomernya aja ke elu. Nanti hubungi sendiri," ujar Bonang membuyarkan pikiran Aksara yang kemudian membuka ponsel untuk menyimpan nomor kenalan kakak tingkatnya itu.
Ya udahlah, dicoba aja. Pikirin Ibu, Sa. Nggak usah pilih-pilih kerjaan selama masih halal, batin lelaki yang kemudian mengirimkan pesan singkat pada nomor yang baru saja disimpannya. Pesan terkirim tepat saat dosennya membuka kuliah sehingga dalam beberapa menit ke depan ia harus fokus pada kuliah terakhirnya di hari itu.
Selepas kuliah, Aksara bergegas menuju restoran kafe yang direkomendasikan Bonang. Pesannya pun sudah dibalas oleh Rizki—kenalan Bonang yang membutuhkan karyawan baru—dan ia mendapatkan alamat tempat itu. Perlu waktu hampir satu jam untuknya sampai di tempat tujuan. Andaikan ia punya kendaraan pribadi, tentu bisa sampai sepuluh hingga dua puluh menit lebih cepat.
Restoran kafe itu cukup ramai saat Aksara tiba di sana. Awalnya, ia membayangkan kafe seperti apa yang dikatakan oleh Bonang sebagai 'semi restoran'. Secara interior dan tampak ruangannya memang seperti kafe biasa yang dominan menyediakan minuman dari jenis kopi-kopian dan susu. Kafe yang biasanya tidak begitu memiliki makanan beragam dan harganya masih bisa dipenuhi oleh kocek mahasiswa. Namun, setelah melihat menu yang ada ternyata kafe ini banyak menyediakan jenis makanan tidak hanya dua atau tiga jenis seperti kafe pada umumnya.
"Ini, mah, bisa disebut restoran aja," gumam Aksara.
Saat menjelajah kafe sekitar taman kota kemarin, Aksara memang tidak menyadari adanya tempat ini. Mungkin karena ia terburu-buru atau mungkin karena hanya mengincar kafe-kafe kecil tempat mahasiswa biasa nongkrong. Restoran ini—mengikuti julukan yang digunakan Aksara—tidak jauh dari taman kota. Sekitar delapan menit berjalan kaki dari taman tikungan pertama di utara taman kota, tempat ini sudah terlihat sebagai yang paling besar di antara kafe kecil sekitarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARASYA ✔ [Tamat]
Teen Fiction[10th WINNER of EDITOR's CHOICES Author Got Talent 2021] "Kalau saja aku menyadarinya lebih awal, kehilangan tidak akan semenyakitkan ini." Ketika takdir mempertemukan Aksara yang kehilangan tujuan hidupnya dengan Rasya yang tak mampu membedakan seg...