10 - Benang Merah

41 15 16
                                    

Jika saja bukan karena jadwal konsultasi pada hari ini, Rasya mungkin akan lupa pada fakta bahwa ia pernah mengenal seseorang bernama Aksara. Kesibukan perkuliahan dan agenda BEM fakultas yang mulai padat mengalihkan perhatiannya. Padahal, beberapa hari sebelumnya ia memiliki rasa penasaran yang tinggi pada lelaki itu hingga menguji peruntungan agar dapat bertemu secara kebetulan. Mungkin karena ia sudah berkenalan dan sedikit mengobrol dengan Aksara, rasa penasarannya cukup terpuaskan.

Mengingat lelaki itu membuat Rasya ingat pada percakapan yang belum usai—definisi kehilangan dan hubungannya dengan puisi berjudul 'Malam' milik Aksara. Pemilik puisi kesukaannya itu belum sempat menjawab pertanyaannya tempo hari lalu karena telepon masuk dari sang papa. Ingatan itulah yang mendorong perempuan bersepatu merah muda ini mengirim pesan singkat pada Aksara di pagi hari.

Namun, Rasya tak kunjung mendapatkan balasan hingga sore. Mungkin, Aksara sedang sibuk dengan kuliah atau jangan-jangan ... lelaki itu tak mau bertemu dengannya lagi? Entahlah, Rasya tak mau berprasangka buruk karena itu bukanlah hal yang baik untuk konsumsi pikirannya. Ia pernah mendengar bahwa sebisa mungkin temukan 40 alasan untuk terus berprasangka baik dan jika 40 alasan itu masih kurang, artinya mengacu pada alasan terakhir—hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi.

Sembari memikirkan beragam alasan dan kemungkinan tidak adanya balasan dari teman barunya itu, Rasya memesan ojek online untuk pergi ke biro konsultasi pribadi Psikolog Rayen. Tidak cocoknya jadwal kuliah Rasya dengan shift praktik Psikolog Rayen di RS PMI membuatnya mendapat tawaran agar bisa melanjutkan konsultasi di tempat praktik pribadi Psikolog Rayen. Ah, satu hal lagi yang menjadi alasannya ingat dengan Aksara. Tempat konsultasi yang akan ia kunjungi tidak jauh dari taman kota.

Kurang lebih lima belas menit perjalanan, Rasya tiba di sebuah rumah berpagar putih. Terdapat papan nama berwarna putih juga yang terpasang di tiang samping pagar bertuliskan nama Psikolog Rayen, jam praktik pribadi, dan nomor izin praktik dengan warna biru. Rasya celingak-celinguk mencari sesuatu di depan pagar karena ia bingung, apakah dirinya langsung masuk saja atau ada bel tersedia di sana?

Sayangnya, perempuan dengan baju terusan berwarna krem ini tidak menemukan benda yang dicarinya. Ia pun akhirnya memilih untuk membuka pagar, tepat saat pintu rumah itu terbuka.

"Cari siapa, Mbak?" tanya seorang perempuan yang membuka pintu rumah.

Rasya sedikit tersentak mendengar suara perempuan itu. "Eh, ini ... itu, Mbak. Mau konsultasi," jawabnya sedikit terbata-bata.

"Oh, sama Mas Rayen, ya?"

Rasya mengangguk dan tersenyum canggung.

"Masuk aja, Mbak."

Akhirnya, Rasya bisa memasuki rumah itu dengan percaya diri. Rasanya sangat tidak enak jika ia harus memasuki rumah orang tanpa memencet bel atau mengetuk pagar hingga mendapatkan izin untuk masuk. Hal ini sudah tertanam dalam dirinya sejak kecil karena mamanya selalu mengajarkan untuk 'permisi' setiap memasuki wilayah yang bukan haknya.

Setelah masuk, Rasya dipersilakan menunggu di ruang tamu. Tempat praktik itu tidak terlihat seperti ruangan yang ia bayangkan. Dalam benaknya, tergambar sebuah ruangan yang sama persis seperti yang ia lihat saat di rumah sakit atau di tempat praktik dokter umum—ada meja dokter, ada kasur periksa, atau dalam hal ini, ada kursi besar untuk relaksasi. Namun, di depan matanya tak lain seperti rumah biasa yang memiliki ruang tamu bersofa dan ada tiga pintu di sisi kanannya. Di ruang tamu itu pun Rasya bisa melihat meja kayu berbentuk L dengan sudut yang melingkar. Di atas meja itu ada beberapa laci dan di belakangnya ada sebuah lemari besi empat pintu.

"Dengan Mbak Rasya, ya? Di tunggu dulu, ya, Mbak. Mas Rayen masih salat," ujar perempuan yang tadi mempersilakannya masuk.

"Iya, Mbak ... Ehm, maaf, namanya siapa, Mbak?"

AKSARASYA ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang