24 - Rasa yang Tertahan

30 10 11
                                    

Bagi Aksara, kini tiada malam tanpa memikirkan segala kemungkinan kehilangan Rasya. Sejak perempuan itu mengungkapkan bahwa ia benar-benar menyukai puisinya, lelaki pujangga ini kembali menemukan semangat menulis yang sempat hilang. Ucapan Andra beberapa waktu lalu pun terus terngiang di benaknya. Bagaimana jika Rasya benar-benar pergi? Bagaimana jika tak ada kesempatan untuk bertemu lagi? Bagaimana jika semuanya, lagi-lagi, terlambat seperti saat ia kehilangan ayahnya?

"Oh, waktu itu Rasya nyamperin gua di puskesmas," ujar Andra beberapa hari setelah menanam benih kekhawatiran tentang kemungkinannya kehilangan Rasya. "Sebegitu pengennya dia ketemu dan tau kabar lu sampai nyamperin gua habis jadwal konsulnya. Dia nggak cerita banyak, tapi gua cukup nangkep apa yang dia rasain. Kayaknya, dia bener-bener nungguin kabar dari lu. Wajahnya jelas nunjukin itu."

"Itu yang gua takutin, Mas. Gua nggak mau dia sedih karena liat tangan ini," timpal Aksara sembari mengangkat tangan kanannya yang masih berlapis gips.

"Dia lebih sedih nggak tau kabar lu, Aksara."

"Nanti. Kalo gua udah bisa nulis puisi lagi buat dia."

"Kalo nunggu sampai tulisan tangan kiri lu bagus, bakal lama, Sa. Tapi, ya, semua pilihan lu, sih. Dia juga titip pesen. Katanya, dia mau bantu lu, jadi jangan lari lebih lama lagi."

Mendengar pesan itu, degup jantung Aksara tak karuan bak genderang perang yang ditabuh berulang kali. Hampir satu bulan dirinya menahan diri untuk tidak menghubungi Rasya. Sama sekali tidak ada maksud untuk melarikan diri. Ia hanya ... hanya ingin terlihat baik di hadapan gadis itu. Ia hanya ingin mampu memunculkan senyum yang menghapus kesenduan di wajah gadis itu melalui puisi-puisinya. Itulah mengapa, ia mengambil jeda sejenak untuk menyiapkan diri agar dapat berhadapan seolah tangannya baik-baik saja. Namun sepertinya, ia pun terlalu percaya diri dengan berpikir bahwa Rasya mengkhawatirkannya. Toh, dia bukan siapa-siapa. Hanya lelaki yang menawarkan diri untuk berbagi perihal emosi lewat puisi.

Rasya pun mulai berhenti menghubungi Aksara sejak dua minggu lalu-tepat sehari setelah pertemuan Rasya dengan Andra. Tak adanya pesan dari Rasya membuat lelaki ini semakin bergelut dengan dorongan hati yang merindu dan ingin sekali bertemu. Tak hanya itu, entah sudah berapa puluh lembar kertas yang harus menjadi saksi perjuangannya berlatih menulis dengan tangan kiri. Hanya saja, melenturkan jemari yang kaku untuk menulis memang membutuhkan waktu lama. Tulisannya masih jelek walau tak seburuk percobaan pertama.

----
Aku tahu, kehilangan akan semenyakitkan itu,
seperti saat kehilangannya

Namun, bolehkah aku mengutuk keberanian yang terus sirna bersamaan dengan ketidakmampuanku menulis?

Aku ... tidak bisa menghadapmu dengan kondisi ini;
kondisi yang justru memunculkan raut yang amat kubenci
hadir di wajahmu

Dan bodohnya aku tahu,
itu semua
karenaku
----

Lelaki ini tidak pernah tahu bahwa ada hal yang lebih sulit dibandingkan menyelesaikan ujian akhir semester dengan satu tangan saja. Melatih tangan kirinya untuk terbiasa menulis dan memunculkan keberanian bertemu dengan gadis berwajah sendu itu, nyatanya lebih rumit untuk diselesaikan. Menulis sebait puisi itu saja, ia membutuhkan waktu sekitar lima belas menit. Itu pun dengan huruf-huruf yang masih berantakan dan tidak rapi.

Entah kapan keberanian itu hadir untuk membuat Aksara menghubungi Rasya kembali. Satu hal yang berani ia lakukan saat ini adalah menghabiskan waktu di taman kota. Lagi pula, setiap selesai ujian di kampus, lelaki pujangga ini selalu menyempatkan diri mengunjungi taman kota. Selain untuk mengenang pertemuannya dengan Rasya, ada sepercik harap yang hadir. Berharap sosok yang dirindukannya muncul di sana, walau dirinya akan mencukupkan diri untuk melihat dari jarak jauh saja.

AKSARASYA ✔ [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang