33. Keputusan

63 3 0
                                    

Pulang sekolah Ellen mengikuti Kathrin ke kelas pacar mereka. Diperjalanan Ellen terus bergelud dengan pikirannya, karena sikap Afan yang berbeda. Tatapan yang biasa ditujukan padanya adalah tatapan teduh, tetapi tadi selama sekolah tatapannya sangat dingin dan dahinya berkerut seperti memikirkan sesuatu.

"Hai sayang." Kathrin menyapa Arga yang keluar dari kelas.

"Hai beb." Arga mengambil tangan kekasihnya dan menautkan jarinya. "Gais, gue duluan ya." ucapnya pada teman-temannya

"Oyi." kata Rian. "Jadi main basket dulu gak nih? Gue udah dapet lawan." Ia mengajak siswa kelas sebelah untuk tanding basket dengannya.

"Jadi dong! Ya kali, masa' nggak." jawab Gilang.

"Lo ikut nggak, Fan?" tanya Bayu

Afan terdiam sebentar sambil melirik Ellen, cewek itu juga menunggu jawaban. "Nggak."

"Oke deh, hati-hati anterin adek gue." kata Gilang.

"Lo?" tanya Bayu berusaha terlihat ramah seperti biasa pada Fery.

"Gue-"

"Kalau lo mau nganterin dia dulu ya nggak papa? Atau sekalian pulang."

Fery mengerti siapa yang dimaksud 'dia'. "Bukan gue yang mau, tapi bokap gue yang nyuruh." sanggahnya.

"Udah-udah." lerai Rian. Mereka semua mengerti, semenjak Fery dan Lina dijodohkan aura yang dikeluarkan Bayu dan Fery sangat berbeda, hubungan mereka agak renggang.

"Lagian gue lagi ngomong lo sela. Gue mau bilang 'gue nggak nganterin Lina' jadi bisa. Lina dijemput." jelas Fery bersedekap lalu memalingkan muka dari Bayu, sedangkan Bayu bodo amat.

Gilang menghela nafas. "Ayo."

Mereka menuju arah yang berlawanan. Mereka berempat ke lapangan bola basket, Afan dan Ellen ke parkiran sekolah.

Dirasa sudah jauh dari teman-temannya Afan berhenti, Ellen juga ikut berhenti. "Kenapa?"

"Len." Afan menatap Ellena dengan sesakma. Ellena menjawab dengan wajah bingung. "Gimana perasaan kamu?"

Ellena menunduk. Ini saatnya! "Aku-"

"Gue pingin putus."

Ellen mendongak kaget dengan kalimat yang diutarakan Afan. "Fan.."

"Gue capek nunggu, Len. Gue capek. Mungkin kita memang nggak cocok, lo cari yang lain aja ya. Lagian kalau ada apa-apa, tinggal bilang abang lo, lo bisa minta tolong dia." kata Afan dengan nada datar. "Makasih buat waktunya."  ia hendak pergi tapi dicekal oleh Ellen.

"Maksudmu apa?"

Dalam hati Afan terkejut dengan panggilan 'kamu' itu. Tapi ia menetralkan kembali detak jantungnya. "Gue rasa tadi sudah cukup jelas." Afan menarik tangannya, melepas cekalan Ellen.

Ellen ingin berteriak sekeras-kerasnya kalau ia sayang kepada Afan, tapi mulutnya terasa kelu dan berat. Juga percuma saja ia menyatakan cintanya, Afan tidak lagi mencintainya. Pikirannya kosong dan hatinya berisi penyesalan yang selalu datang diakhir.

Afan berusaha terlihat biasa saja, tidak melihat ke belakang -reaksi Ellen-, tapi hatinya tidak bisa berbohong. Begitu sakit, sangat sakit. Ia sudah memikirkan matang-matang, berkaca dari 2 kali penculikan yang dialami Ellen bulan lalu. Ternyata memang ada yang mengincar Ellen. Afan takut jika ia masih mempertahankannya, Ellen akan menjadi 'Adelya kedua' baginya. Dan seperti yang Afan bilang tadi, sudah ada Gilang yang menjaga Ellen dari dekat.

Ellen cukup lama berdiri di koridor berusaha menghilangkan bekas air mata diwajahnya, ia terus mengusap matanya kasar agar abangnya tidak curiga. Ellen menetralkan nafasnya agar tidak terdengar sesegukan, setelah itu berjalan menuju lapangan basket.

ELLENA [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang