Aku membuka pagar memasuki sebuah rumah mungil. Di rumah itu aku tinggal berdua dengan Karin, sahabatku. Ruang tengah kami kecil jadi aku dan Karin sepakat untuk tidak membeli sofa. Kamarku dan kamar Karin letaknya berseberangan. Dapur kami lengkap dengan peralatan karena Karin punya hobby memasak. Karin menyewa rumah mungil itu karena kedua orang tuanya tinggal di Bandung. Sebenarnya aku disini hanya numpang. aku baru saja kabur dari rumahku.
Karin terperangah mendengar ceritaku yang membahas hilangnya setengah populasi kelasku. Hal yang sangat langka di sekolah lamaku yang terkenal sangat disiplin. Beberapa kali Karin menyela dengan bertanya, "Sumpah lo?"
Aku mengangguk yang membuat Karin speecless dengan sekolah baruku, termasuk tentang kejadian tadi pagi antara aku dan Ares. Karin masih terperangah bahkan setelah cerita itu berakhir.
Pada akhirnya Karin menghujaniku pukulan bantal menggunakan guling yang berada dipeluknya, "Kenapa lo diem aja. Itu pelecehan."
Aku hanya berusaha menghindar tanpa rasa ingin membalas, "Udah gue tampar, Rin."
"Kurang. Harusnya lo hajar aja sekalian, pukul, tendang, mutilasi," oceh Karin berapi-api. Wajahnya terlihat memerah karena ikut emosi mendengar ceritaku.
"Itu pembunuhan," celetukku karena ucapan Karin yang terkadang lebih mengerikan. Jika aku sampai melakukan itu, maka aku akan benar benar dibuang dan di campakkan oleh dia.
"Sekali kali gak apa," ucap Karin dengan santai. Ya, sekali tapi cukup membuat hidupku hancur dan dibuang dari keluargaku.
"Emang lo mau temenan sama pembunuh? Hah?"
"Enggak dong. Gue nyari temen barulah," uja karin dengan bangganya. Seketika aku langsung melempar bantal didekatku kearahnya. Memang teman itu cuma ada pas senengnya doang ternyata.
"Dia kapan pulang?"
"Jangan tanya!" seru dengan keras yang langsung membungkam bibir Karin agar tidak membahas tentangnya. Hidupku sudah cukup susah saat ini. Jangan sampai dia kembali ke Indonesia. Hidupku akan sangat-sangat susah.
***
Saat sampai di kelas, aku melihat isi kelas masih seperti kemarin. Namun, ada yang berbeda. Ada beberapa siswa yang datang ke kelas, termasuk Beny si Ketua Kelas dan wakilnya Hary, Johan, Madan, dan Ferdy. Mereka berkumpul di pojok kelas. Aku menghitung jumlah mereka dan itu hanya setengah dari jumlah siswa seluruhnya.
Mereka semua terlihat santai, seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Bahkan mereka tidak terlihat takut untuk datang kembali kesekolah setelah membolos berjamaah kemarin sore.
Aku mendapatkan ide bagus sat ini dan akan sangat di sayangkan jika tidak di gunakan. Aku berjalan menghampiri Beni dan menatapnya santai. "Ben, lo kemana kemarin?"
beny tidak menjawab. Aku tahu bahwa beny tidak akan menjawab pertanyaanku dengan mudah.
"Lo tau Ares di mana gak?" tanyaku lagi. Kali ini mereka saling bertukar pandang. Mungkin bingung kenapa aku tiba tiba bertanya tentangan keberadaan Ares.
"Kenapa?" tanyaku. Mereka malah menatap satu sama lain dan tertawa terpingkal-pingkal.
"Ada yang lucu?"
"Itu bukan urusan cewek," ucap Hary dengan nada sombongnya.
Aku menatap mereka dengan bosan. Salah satu tingkah yang aku tidak suka dengan cowok, sok sombong, "Gue enggak ada urusan sama lo semua, gue cuma ada urusan sama Ares."
Tiba-tiba Johan berjalan mendekatiku dan dengan lancang meraih tanganku.
"Mendingan lo sama gue aja," ujar Johan sambil tersenyum yang membuatku ingin muntah. Aku membalas senyumnya kemudian langsung membanting tubuh Johan ke lantai yang keras itu.
BRUUK!
Semua menatapku terkejut dengan apa yang barusan terjadi. Aku melepaskan paksa tanganku dari tangan Johan dan tersenyum ke arah mereka.
"Gue gak tertarik sama lo. Ada yang mau nyoba lagi?" tawarku yang membuat mereka tiba tiba menciut dan menjauh dariku.
Hary mulai membuka suara, "Kami nggak tahu. Mereka nggak masuk. Kami nggak ikut-ikutan."
"Ikut-ikutan apa?" Tanyaku bingung, tidak mengerti arah pembicaraan Hary.
Mendadak Hary menyesali kata-katanya. Wajahnya kebingung sesaat, memikirkan penjelasan untuk pertanyaanku.
"Gue nanya sama manusia bukan batu. mau senasib sama dia?" Kali ini Beni yang angkat bicara. Suaranya terdengar lantang namun penuh keraguan.
"Kami nggak mau terbawa masalah."
"Jawab dan kalian gak akan dapat masalah." tantangku.
Aku ingin membuktikan perkataan para guru seberapa beringas Ares dan membalas perbuatan tak Menyenangkannya yang masih terbayang bayang diotakku. Secara mengejutkan, Beni membeberkan semuanya. Suaranya bergetar saat kalimatnya mengalir.
"Arif punya musuh di SMA lain. Kemarin mereka ketemu dan berantem. Arif kalah karena sendirian," ucap Beni yang membuatku ingin tertawa. kalah? sendiri?
"Musuhnya ada tiga orang. Hari ini, Arif ngajak Ares buat balas dendam. Kalau Ares ikut, yang lain juga bakalan ikut, mereka ada sepuluh orang." Beni mengambil jeda dari ucapannya.
"Mereka bakal nunggu musuhnya pulang sekolah, membawanya ke tempat sunyi, lalu menghabisinya."
Oke. Aku mengerti sekarang. Secara garis besar cowok-cowok di kelas ini terbagi atas dua kelompok. Kelompok abu-abu dan hitam kelam. Yang ada di kelas sekarang adalah kelompok abu-abu. Mereka memang nakal, tapi tidak mau terlibat kasus kriminal.
Kelompok satu lagi, yang hitam pekat, jelas memegang prinsip hukum rimba. Dan tentu saja pemimpinnya adalah sang dewa, Ares. Kemana dia mengarahkan telunjuk, ke sanalah pengikutnya akan berperang.
"Dimana mereka ngehabisinya?"
Mereka semua menggeleng. Tentu saja mereka tidak tahu, tidak mungkin Ares membeberkan rencananya kepada mereka yang bisa saja berbalik melaporkannya. Terlalu beresiko tinggi.
Johan bangkit dan memegang punggungnya yang sakit menghantam lantai. "lo gak ngelapor ke Kepsek?"
"Ngapain? Ini urusan anak muda." jawabku enteng.
Aku menunggu jam pulang dengan tenang. Aku tidak bisa membolos sesuka hatiku lagi. Setelah jam pelajaran terakhir selesai, aku melesat keluar sekolah. Tanpa basa basi aku mengambil ponselku. Menghubungi seseorang yang bisa membantuku saat ini.
"Tut ... tut ..." tak berapa lama panggilan tersambung.
"Tumben lo nelpon, ada apa nih?" ucap seseorang di seberang yang terdengar kegirangan tidak denganku yang sangat malas berurusan dengannya.
"Gue butuh lo lakuin sesuatu."
"Apakah itu tuan putri?" terdengar suara gelak tawa dari seberang sana, aku mendengus karena panggilan tuan putri yang menggelikan.
"Sekali lagi lo panggil gue tuan putri. gue seret lo ke tengah tengah lapangan!" ancamku yang membuat tawa diseberang sana menghilang.
"Ok-ok, apa yang bisa gue bantu?" tanya dengan santai. Jelas saja dia tahu. Aku tidak mungkin menelponnya jika tidak memiliki kepentingan yang mendesak.
"Cari keberadaan orang yang gue kirim," ucapku mengirim foto ares yang kudapat dari salah satu media sosialnya. Percayalah aku tidak mencari tahu tentangnya. Aku hanya mengumpulkan informasi tentangnya.
"Hal yang cukup simple." Suara ketikan terdengar berisik dari seberang. Aku tersenyum, tidak sia sia meminta pertolongannya. Tentu saja aku tidak akan memujinya seterang itu.
"Cepetan!" Perintahku. Aku akan mematikan teleponku, tetapi seseorang diseberang itu kembali bersuara.
"Lo kapan balik?"
"Nunggu dia balik juga." Ucapku dan mengakhiri percakapan dengan cepat. Aku harus segera pulang kerumah dan menyiapkan rencana untuk membalas dendam terhadap Ares.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ares ✔
Romance[COMPLETED] "Ada lagi yang mau bertanya," ucapku. Aku sudah lelah bediri di depan kelas ini. "Satu lagi." Suara itu. Berat dan tenang. Tunggu bukankah itu suara si malaikat yang tadi bersamaku. "Ya?" "Menikahlah denganku." Itu bukan pertanyaan. Itu...