"Pertama kali ngeliat lo, jujur gue anggap lo cewek aneh yang gampang di ganggu. Gue sengaja jahilin dan mainin lo. Dan gue enggak tahu entah sejak kapan, gue jadi peduli sama lo. Mata gue selalu ngelirik ke arah lo dan gue marah saat mata lo beralih dari gue. Bahkan keteman dekat gue sendiri. Gue benci."
Aku merasakan tubuhku menegang. Kepalaku serasa diobrak-abrik oleh setiap kata yang mengalir barusan. Otakku menolak untuk percaya, tapi sel-sel tubuhku bersorak girang. Sepertinya ini pertama kalinya Ares berbicara cukup Panjang tanpa ada amarah atau rasa menyebalkan di setiap katanya.
Kata-kata Ares berikutnya mengalir lancar dan lembut. "Pas lo datang ke rumah gue, gue harus ngelawan sebagian diri gue yang ingin meluk lo."
Aku tersenyum entah mengapa. Seakan aku benar benar berharap akan ucapan Ares barusan. Aku benar benar sudah gila. Bukankah aku membencinya. Kenapa aku tidak bisa meledeknya disituasi seperti ini yang jelas sangat menguntungkan bagiku.
"Waktu lo pergi, gue putusin kalau lo bukan siapa-siapa dan gue pasti bisa ngelupain lo. Gue tinggal pindah sekolah, atau putus sekalian. Gue nggak peduli. Tapi malam ini, ngeliat lo sama si brengsek itu bikin gue sadar kalau gue bukan hanya jatuh cinta ama lo, tapi juga menginginkan lo untuk diri gue, hidup gue, saat ini dan, selamanya."
Well, aku merasa sangat tersanjung sekarang. Sulit kupercaya di balik setiap tindakannya yang kasar dan menyakitkan, hatinya malah mencintaiku. Bolehkah aku merasa bahagia, senang, girang, dan semua sinonimnya saat ini. Aku tidak tahu kapan situasi ini akan terjadi lagi.
Ares menggenggam tanganku dengan erat. Mata karamelnya menembus netraku, "Gue tau gue udah terlambat. Tapi gue akan rebut hati lo darinya." Ujarnya lagi. "Bagi gue, cinta harus memiliki."
Gila. Aku nyaris melompat kegirangan mendengar ucapannya. Tiba tiba mata Ares berubah mengancam. "Lo siap-siap aja kehilangan dia."
Perasaan bahagia menguasaiku. Bibirku bergerak sendiri, "Hati gue cuma milik gue dan hanya akan jadi milik gue."
Ares mencerna kata-kataku., wajahnya kebingungan yang tiba-tiba terlihat menggemaskan. "Jadi si brengsek itu?"
Aku menggeleng. Senyumnya mengembang kemudian menciumi tanganku beberapa kali. Dia bangkit berdiri sambil terus tersenyum lebar. Langkahnya mondar-mandir di dekat meja. "Lo nggak maenin gue kan?" tanyanya cemas.
Aku hanya menganggat bahu yang membuat Ares terperangah. Tubuhnya mematung di depanku. Mata karamelnya menatap tak percaya. Aku yakin sedetik lagi kepalanya pasti meledak.
Tawaku pecah. Tidak tahan melihat wajah Ares yang begitu mengemaskan, "Muka lo jelek banget, tau."
Wajah Ares sama sekali tidak berubah. Sorot matanya membuatku mengerti. Aku berdiri menghampirinya. Tanganku menyentuh bahunya yang tegang.
"Pertama ngeliat lo, gue kayak dipelet karena wajah lo nggak manusiawi. Gue bahkan hampir gila karena rayuan wajah lo yang selalu buat gue kehilangan otak gue." Jari-jariku menelusuri lekuk wajahnya.
"Mata lo, rambut lo, bibir lo, selalu bikin gue mikirin lo. Waktu lo nggak ada, gue nungguin lo setiap hari, berminggu-minggu. Sama kayak lo, gue juga nahan diri gue untuk nggak meluk lo saat itu. Terus lo ngecewain gue dengan munculnya si teler itu. Harusnya lo bilang waktu itu kalau dia cuma sahabat lo."
"Gue pengen ngeliat reaksi lo gimana." ujarnya datar.
"Pasti muka gue keliatan jelek banget."
Ares menangguk. "Muka lo merah, badan lo gemetaran." ujarnya menahan geli. Aku lega wajahnya kembali tenang.
"Jadi barusan lo maenin gue."
Aku tertawa. "Iseng aja. Muka lo lucu banget."
"Lo harus dihukum." Lalu Ares menarik tubuh mungilku hingga membentur tubuhnya. Aroma tubuhnya membuatku sepeti melayang. Jantungku berdetak cepat, tanganku gemetaran, kedua kakiku terasa lemas.
Wajahnya semakin dekat kearahku, pelan dan pasti bibir kamu saling bertautan satu sama lain. Menjelajah lebih dalam, nafasku memburu sekarang oksigen disekitarku menghilang.
Aku tersentak sadar ketika Ares menjauh wajahnya beberapa senti dari hadapanku, "Gimana hukumannya?" tanyanya senang.
"Sungguh menyakitkan." Ucapku melap bibir Ares yang ternoda lipstickku, terlihat wajah bingung di wajah Ares,
aku tertawa, "Lo gigit bibir bawah gue."
Dia tertawa lalu menciumku lagi. Kali ini lebih lembut dan lebih nyaman. Tanpa sadar mataku menutup. Ku nikmati setiap deru nafas memburu diantara ciuman penuh kerinduan ini. Ku nikmati aroma tubuh segarnya yang kerinduan berminggu minggu ini. Ku nikmati malam yang menyenangkan ini.
Ares kembali menarik wajahnya, menatapku dengan senyum yang belum pernah kulihat, dimple dipipi kirinya terlihat jelas menambah manis wajahnya.
"Sampai kapan gue dapet hukuman terus kayak gini?" Tanyaku, karena Ares terus memelukku.
Dia tertawa dan memeluk tubuhku lebih erat, "Ini bukan hukuman. Ini hadiah."
"Hadiah?"
"Gue ultah."
aku menatap Ares terkejut. Aku lupa, padahal aku memiliki data tentang Ares,"Yang keberapa?"
"Delapan belas." ujarnya muram.
Aku berjinjit untuk mengecup keningnya, "Selamat ulang tahun, Ares."
Lalu aku mengusulkan kami makan di restaurant seafood milik keluarga temanku untuk merayakannya. Tapi dia menolak. "Gue yang bayar deh.", kataku membujuk.
Sepasang mata Ares berkelebat marah mendengar ucapanku. "Lo suka sphagetti nggak?"
"Kenapa nggak makan di luar aja? Nggak perlu repot-repot masak."
"Gue nggak mau membagi lo dengan orang lain.", ujarnya tanpa menoleh. Aku sempat terpaku mendengar kalimatnya itu, tapi kemudian mengikutinya ke dapur. Dia mengeluarkan beberapa bahan dari lemari es. Aku hanya memperhatikan dari balik bahunya.
"Emang lo bisa masak? Tanyaku. Aku sama sekali tidak bisa memasak sehingga tidak bisa membantu. Jika aku turun kedapur hanya kehancuran yang terjadi.
"Jangan lo pikir karena gue cowok gue gak bisa masak," ujarnya sambil memotong bahan bahan dengan cekatan. Aku sempat terpaku melihat cara memasaknya yang cepat dan terlatih. Sebagai seorang perempuan aku merasa kalah dengannya.
Akhirnya kami makan malam di rumah dengan menu sphagetti seafood ala Ares yang sangat memikat hati.
Ares menyalakan televisi dan memutar sebuah film, aku duduk disofa menghadap televisi disusul Ares yang duduk disebelahku. Ares melingkarkan tangannya dibahuku, mendekap tubuhku yang mungil. Film memutar mesra, kami berdua tak bersuara, saling menikmati adegan film yang memikat.
Aku menatap wajah tampan Ares yang fokus menonton, ku amati setiap bagian wajahnya yang selalu memikat untuk dipandang. Aku masih merasa bahwa ini tidak nyata.
"Jangan natap gue kaya gitu," ucap Ares masih dengan pandangan yang terfokus menonton film.
"Lo lebih menarik," ucapku dan menoel noel pipinya.
Ares menahan tanganku, mengalihkan pandangannya kearahku. Sebuah senyum yang pertama kalinya ku lihat diwajah datarnya Ares mengalihkan semua. "Lo jauh lebih menarik," ucapnya mengecup punggung tanganku dan terus naik menjalar tinggi menembus angkasa.
film yang sedang tayang didepan kami tidak lagi menjadi fokus utama di malam hari yang panjang ini. tidak ada lagi kebencian, tidak ada lagi rasa yang ditahan. semua sudah jelas dan tidak ada yang perlu di jelaskan lagi.
Ares telah menjadi milikku dan aku tidak akan melepaskannya dengan mudah.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Ares ✔
Romance[COMPLETED] "Ada lagi yang mau bertanya," ucapku. Aku sudah lelah bediri di depan kelas ini. "Satu lagi." Suara itu. Berat dan tenang. Tunggu bukankah itu suara si malaikat yang tadi bersamaku. "Ya?" "Menikahlah denganku." Itu bukan pertanyaan. Itu...