4. Dewa menyebalkan

110 16 1
                                    

jika jatuh cinta tidak perlu alasan, kenapa benci harus punya alasan?

***

Aku berjalan menuju kelas dengan santai. Koridor sekolah sudah sepi karena bel masuk akan berbunyi 5 menit lagi. Saat di belokan menuju kelas tak sengaja bayangan hitam melintas dengan cepat dan menabrakku hingga aku terjatuh kebelakang. Bayangan kembali menghilang dengan cepat tanpa kata maaf sedikitpun. Rasa kesal membuatku berbalik mengejar bayangan itu hingga aku melihatnya berhenti di koridor yang mengarah lapangan belakang.

"Woy! Lo harus minta maaf dulu. Main kabur aja." Aku yang keburu emosi tidak tahu siapa yang sedang aku marahi saat ini. Siluet itu berbalik dan ternyata dia, Ares.

Ares berbalik dan manatapku bingung. Begitu juga aku yang tiba tiba menjadi diam, merutuk diriku yang malah berurusan lagi dengannya. Aku menghela nafas pelan. Lebih baik aku mengabaikannya dan melupakan kejadian tadi. Aku tidak ingin mood pagiku hancur.

Lagi lagi Ares menahan tanganku saat aku melangkah pergi. Mencekalnya dengan erat. Suara berat dan tenang milik Ares mengisi indra pendengaranku. "Lo ngomong apa tadi?"

"Bukan apa-apa. Abaikan aja," ujarku malas. Tidak ingin berurusan dengan Ares.

"Oh, ok," jawab Ares dengan datar dan tidak tertarik juga memperpanjang masalah.

Mendengar jawaban singkat dari Ares malah membuatku kesal. Seakan-akan dia meremehkanku dan aku benci itu. Aku tidak suka diremehkan.

"Lo harus minta maaf," ungkapku berubah pikiran. Aku sangat tahu tipe orang seperti Ares. Mereka selalu bersantai dalam segala hal. Menganggap semua orang adalah remahan bagi mereka yang berada di puncak tertinggi kehidupan. Dan orang seperti itu harus dihancurkan.

"Untuk?" tanyanya datar dan tak berminat.

"Lo udah nabrak gue tadi," ucapku semakin kesal melihat wajah sok polos Ares sedangkan Ares malah merasa semakin tak bersalah.

"Oh, gue minta maaf," ucapnya asal tanpa sedikit pun rasa tulus di kalimat yang baru saja dia ucapkan.

"Minta maaf yang bener, lo gak pernah diajarin apa," sindirku yang kesal dengan ucapan tidak tulus dari Ares.

Wajah Ares memerah. Tangannya mengepal udara hingga urat disekitar tangannya terlihat jelas. "Iya, gue gak pernah diajarin sopan santun. Kenapa?!" bentak Ares dengan nada marah yang malah membuatku terkejut.

"Kok lo yang marah, harusnya gue," cibirku karena malah merasa posisi saat ini salah. Aku yang harusnya marah.

Ares mengusap wajahnya kasar dengan telapak tangan besarnya, "lo mau apa sebenarnya?"

"Minta maaf yang tulus," ucapku menatap dalam kearah mata karamelnya yang memikat itu. Terserah, aku tidak akan jatuh lagi dengan perangkap wajah tampan dan mata caramel yang begitu memikat itu.

"Gue gak mau!" sergah Ares dengan wajah tengil yang menyebalkan. Sepertinya Ares memang sangat berbakat dalam memancing, iya, memancing emosi misalnya. Aku tidak akan kalah semudah itu.

"Kayanya lo harus dihajar baru sadar," gumamku yang merasa sangat kesal dengan sifat menyebalkan Ares. Rasa kesal begitu memenuhi ruang kepalaku, baru kali ini aku bertemu orang sekelas kepala Ares.

"Hahaha... lo Cuma cewek lemah. Manja," sindir Ares dengan senyum miring dan menantangku. Bahkan dia seakan memberikan pipi kanannya untuk ku pukul. Ares benar benar meremehkanku.

Aku menunjuk wajah Ares dengan jari telunjukku. Aku tidak selemah itu dan aku tidak akan diam saat direndahkan, "Gue bukan cewek manja!" Peringatku dengan jelas di depan wajah Ares.

Ares ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang