1. Menikahlah Denganku

289 24 7
                                    

Bertemu denganmu adalah candu bagiku,meski menjadi duri dalam ceritaku.

*****

Hari yang cukup teduh. Matahari menyembul malu malu di balik awan putih di atas langit. Saat awan menyingkir, sinar matahari memantul di papan nama berwarna putih, berdiri tegak di depan sebuah bangunan sekolah dilapisi cat berwarna putih yang menyeluruh.

SMA HARAPAN

Sekolah baruku yang membosankan.

"Permisi pak, saya Vanecia Anggraina," ucap ku kepada seorang penjaga gerbang yang sedari tadi memperhatikan aku yang berdiri di depan gerbang.

"Murid baru, Neng?"  Aku mengangguk mengiyakan pertanyaan pak satpam.

Pak satpam membawaku ke ruang kepala sekolah sambil sekenanya menjelaskan bagian bagian sekolah yang kami lewati. Aku menanggapinya dengan sesekali mengangguk. Bagikuini sangat membosankan. aku ingin pulang danrebahan saja.

Aku sedang memperhatikan taman kecil di depan ruang guru saat pak satpam menyuruhku masuk ke sebuah ruangan di sebelah ruangan guru.

"Ini Neng, ruang pak kepala sekolah," ucap pak Satpam

Di atas pintu itu tergantung papan nama Drs. Dodo Langgeng dengan gelar kepala sekolah di bawah namanya. Setelah mengucapkan terima kasih, aku mengetuk pintu dihadapanku.

Aku sangat tidak suka dengan ruangan kepala sekolah yang selalu membosankan, mungkin karena aku sudah terlalu sering masuk kedalam ruangan itu.

Sahutan dari dalam menyuruhku masuk. Aku membuka pintu, menutupnya kembali dengan pelan, aku tersenyum dan terkejut.

Di ruangan itu, aku mengira akan melihat sepasang mata yang sudah cukup tua, dengan kepala hampir botak akibat keberatan usia, tubuh pendek seperti kurcaci yang memakai jas hitam, serta senyum yang membosankan.

Tapi tidak, bukan bentuk manusia seperti itu yang ku lihat dan sekarang juga sedang menatapku tak berkedip.

Sepasang matanya tajam dan menilai, berwarna coklat terang, persis seperti warna karamel. Rambutnya coklat, hanya saja lebih cerah, lebih pudar, sedikit acak acakan. Hidungnya berlekuk sedikit di dekat pangkal tapi menggantung sempurna diantara pipinya. Bibirnya merah dengan dagunya terbelah ditengah-tengah.

Kulit coklat, tapi bersih. Tangan dan kakinya panjang, jenjang. Menempel santai di sofa yang didudukinya. Kemejanya putih, dengan beberapa atribut menempel. Celananya abu-abu kusam, kalau aku nggak salah. Ujung bawah celananya berserabut, kumal. Sepatunya—aku langsung bisa mengenalinya—bermerek dengan lambang bintang di sisi luar. Di luar dugaan aku terpana untuk pertama kalinya

Suara berdeham yang cukup keras menyadarkanku bahwa bukan hanya aku dan dia di depanku saja yang ada di ruangan itu. Aku menoleh sekilas, dan terkejut. Bayanganku tadi tentang makhluk kurcaci, botak, tua dan membosankan, ternyata benar-benar terwujud di depanku.

Pak Dodo, kepala sekolah SMA Harapan sedang menatapku yang mematung didepan pintu ruangannya.

"Silahkan duduk, Vanecia."

Aku tersenyum seadanya dan duduk di depan si malaikat -sebut saja begitu- sedangkan Pak Dodo duduk berseberangan denganku, persis di samping si malaikat.

Ah, berdosanya aku yang mencoba menahan tawaku saat ini. Melihat kombinasi yang tidak seimbang dihadapanku.

"Bagaimana perjalanan kamu tadi?" ucap Pak Dodo berbasa-basi.

Aku berdeham kecil, mengatur suara agar tawaku tidak keluar, "Baik Pak, lancar."

"Lalu, bagaimana pendapat kamu tentang sekolah ini, Vanecia?"

Ares ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang