3. Sang Dewa

108 17 0
                                    


***

Sisa hari ini kulewati dengan wajah datar dan tak bersemangat. Kejadian kemarin masih membekas jelas diingatanku. Selama jam pelajaran di kelas, aku fokus mendengarkan Pak Guru yang menjelaskan dan mengabaikan tatapan datar dari daerah belakang yang kutahu berasal darinya. Sekarang aku memilih untuk mengabaikannya sepenuhnya, aku sudah tidak tertarik dengan wajah tampannya. Mungkin kemarin aku khilaf.

Ya, aku akui. Ada kekuatan, bukan, hasrat dalam sorotan mata karamelnya yang bisa menghipnotis siapa pun yang dilihatnya. Memang tidak mungkin secara fisik tapi dalam artian lain. Dia menghancurkan logika, membuat kemampuan berfikir menjadi musnah. Dia membuat sel-selmu mati, hingga tidak bisa bergerak. Aku tidak akan terjebak oleh wajah tampan itu lagi.

Setelah kembali dari kantin aku memasuki kelas XII IPA 5, suasana masih riuh karena masih ada 15 menit lagi sebelum waktu istirahat selesai. Beberapa siswa memperhatikan kedatanganku yang membuat mereka bersiul menggoda. Aku berjalan melewati mereka bagai tak terlihat dan duduk di bangkuku. Aku mengambil earphone di dalam tas dan memasangnya di kedua telingaku, sekarang suara riuh itu hilang berganti dengan suara musik.

"Berisik. Diam lo semua!"

Aku tersentak kaget mendengar bentakan barusan yang menembus earphoneku, begitu juga seisi kelas. Perlahan suara-suara berisik tadi meredam, lalu sunyi, benar-benar sunyi.

Aku baru sadar bahwa suara tadi adalah bentakan dari sang malaikat. Aku memalingkan wajah menatapnya datar dan tanpa sengaja tatapan kami bertemu, aku langsung memalingkan wajahku. Aku tidak akan terhipnotis lagi.

"Ngapain natap balik coba?" Rutukku karena kebodohanku yang seharusnya mengabaikannya saja.

Tak lama bel masuk berbunyi dan seorang guru sudah masuk ke dalam kelas. Bu Dwi, guru matematika. Aku membuka buku paket matematika yang tidak terlalu tebal. Namun, cukup membuat sangat pusing untuk membacanya. Melihat angka-angka yang bertebaran disekitarnya telah membuat kepalaku berdenyut. Otak kamu pasti bisa.

"Kerjakan soal-soal di papan tulis. Kalian punya waktu setengah jam. Kalau ada yang ingin bertanya, silakan angkat tangan atau datang ke meja saya," ucap Bu Dwi dengan tegas.

Aku cukup terkejut dengan cara belajar yang tidak bias aini. Bu Dwi baru saja datang dan langsung menyuruh untuk mengerjakan tugas. Kayaknya aku harus demo ke bokap nih. Masukin anak ke sekolah yang bikin culture shock.

Semua murid tidak bergeming, menatap tidak tertarik kearah papan tulis yang penuh dengan coretan soal. Pandangan mereka semua sama, soal apa sih ini?

"Begitu saya panggil nama kalian, kalian harus maju ke depan dan menuliskan jawabannya," Jelas Bu Dwi kemudian. Desahan bosan setengah mati terdengar dari segala arah. Begitu juga denganku yang tiba tiba sakit kepala. Aku harus melewati setengah hari ini dengan keras.

Setengah jam berlalu. Terlihat Bu Dwi mengambil daftar nama siswa dari atas meja. Bu Dwi meneliti satu per satu nama yang tertera di sana. Aku rasa bukan hanya aku yang berharap agar namaku menghilang dari sana. Pandangan semua murid terfokus menatap Bu Dwi, harap harap cemas nama siapa yang akan disebut untuk soal pertama.

"Dinarya Fitri." helaan nafas lega terdengar pelan. Namun, masih ada 9 soal lagi yang menunggu untuk diselesaikan. Seorang siswi yang duduk di barisan nomer dua paling kanan, mengangkat tangannya dan buru-buru terlihat sibuk dengan bukunya.

"Silakan."

"Belum siap Bu," ucap siswi tersebut dengan wajah panik.

Bu Dwi beralih ke nama yang lain. "Hary Pranata?"

Ares ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang