7. Gagal Dalam Perang

63 10 0
                                    

Ares berbalik. "Gue juga."

Tangannya berganti menarik tanganku, membawaku ke luar dari rumah kosong nan sumpek itu dan memaksaku kembali masuk kedalam mobilnya yang terparkir di pinggir jalan.

Aku mencoba keluar dari mobil namun sudah terkunci, aku terperangkap, lagi. Harusnya aku berhenti berurusan dengannya.

Ares sudah berada di belakang kemudi. Pandangannya menatapku tajam, tahu bahwa aku mencoba kabur dari mobilnya. "Ikut gue sekarang atau lo kehilangan kesempatan ngomong sama gue."

"Kita masih bisa ngomong di kelas."

Ares berpaling tidak menatapku lagi. Netra karamelnya beralih menatap jalanan sepi, "Gue nggak ada rencana ke sekolah lagi."

"Besok-besok masih ada."

Ares mendengus kesal, melemparkan sebuah pernyataan yang begitu tajam, "Gue berhenti sekolah!"

Aku terenyak, Ares kembali menatapku dan kini pandangannya berubah datar. Seakan ini benar benar terakhir kami bertemu," Kalau lo mau ngomong, cuma ini kesempatan yang lo punya."

Aku berpikir sebentar, lalu menyerah kalah. Melalui sudut mata aku bersumpah serapah saat melihat bibir Ares meregang senyum.

Kendaraan itu bergerak. Tidak ada obrolan sama sekali di dalam hanya terdengar suara music. Aku kembali teringat aroma harum tubuhnya tadi. Menyegarkan, Menggoda dan mengesalkan karena aku menikmati aroma tubuhnya yang membuatku kembali terhipnotis.

Kami membisu sepanjang jalan. Aku mengamati jalanan yang kami lewati, mengingat setiap belokan Kalau saja Ares berniat menculikku karena aku menyaksikan aksi brutal mereka tadi. Atau dia akan kembali meninggalkanku ditengah jalan seperti waktu itu.

Dugaanku ternyata meleset. Mobil Ares menepi memasuki parkiran sebuah Mall. Aku menoleh menatap Ares meminta penjelasan.

"Ngapain ke sini? Gue mau ngomong, bukan belanja."

"Gue mau makan. Lo bisa ngomong selagi gue makan," jawab Ares sekenanya.

Aku membisu lagi dan Ares menikmati aku yang tidak membantah ucapannya. Ares menghentikan mobil. Secara tiba-tiba kedua tangan Ares melucuti kancing kemeja sekolahnya dan melemparkannya ke bangku tengah. Spontan aku histeris menutup mataku saat melihatnya bertelanjang dada.

"Ngapain lo buka baju?!"

"Tidur." jawabnya asal. Tangan Ares merogoh sebuah tas dari bangku belakang. menyentak keluar sehelai kaos hitam lalu memakainya. Kemudian dia turun. Aku masih membeku di tempat sedangkan Ares sudah membuka pintu di sampingku. "Turun." Titahnya.

"Ogah."

"Gue bilang turun."

"Kenapa gue harus ngikutin apa kata lo?"

"Karena tadi gue udah nurutin kemauan lo." Ucapnya mendekatkan wajahnya tepat beberapa senti dari wajahku.

Aku mendongak menatap mata karamelnya tanpa rasa takut sedikitpun, menantangnya dengan berani, "Apa?"

"Lo mau ngelakuinnya disini? Sekarang?" ucap Ares dengan sebuah senyum mencurigakan di wajahnya. Ucapan Ares terdengar begitu ambigu ditelingaku.

Ares membungkukan tubuhnya, semakin mendekatkan wajahnya dihadapanku. "Gue nggak nolak kok."

Aku langsung mendorong tubuh besar Ares menjauh dari tubuhku. Bisa bisa Ares melakukan hal lebih gila jika aku diam saja. Ares tersenyum menang sedangkan aku mendengus kasar.

Aku turun dari mobil dan berjalan di depan Ares. aku menyeberang melintasi area parker. Aku menyesali tindakanku yang sok pahlawan menyelamatkan tiga makhluk cecunguk itu, harusnya kubiarkan saja tiga nyawa bocah itu melayang dan masa bodo dengan balas dendam jika aku jadi terjebak disini seperti seorang budak.

Ares ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang