Lembar Kesembilan

154 29 22
                                    

Orang-orang besar itu licik

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Orang-orang besar itu licik.
Barbara Chandid
•••

RUANG dengan luas 2 x 3 yang letaknya berada dibawah tanah pedalaman kota begitu temaram, hanya tersedia satu lampu kecil diatasnya. Bau amis sangat menyengat penciuman membuat siapapun yang menghirup merasa mual. Kecuali Juven, dia sudah sangat terbiasa. Ini adalah teoritikal dari wilayahnya. 

Iris coklat pada matanya menyorot kebencian yang mendalam. Dalam radarnya, radius dua ratus senti. Seorang wanita terguncang akibat siraman air panas yang sangat mendidih, kaki serta tangannya terikat. Dia menjerit, menyerukan pertolongan. Juven terkekeh kecil seraya meneguk segelas kopi.

Pertunjukkan yang sangat menarik untuk memulai aktivitas di pagi hari. Dengan sekali gerakan, Juven melepas kaca mata hitamnya, meletakkannya tanpa suara diatas meja kecil. "Selamat datang, Ristiana."

Gadis yang terus merintih itu acuh pada sapaan Juven, akses pergerakannya tertutup. Dia benar-benar tidak dapat menghindari siksaan yang diberikan secara bertubi-tubi oleh Bagas dibelakangnya.

Sial, orang-orang tidak memiliki hati.

"Maafin gua, Ven. Tolong ini menyakitkan, Ahh!"

Bagas mencabuk punggung Ristiana yang sudah mengelupas akibat air panas atas perintah Juven.

Satu kalimat satu cambuk.

Juven tersenyum simpul, "Ulangi, Ristiana. Telinga gua sedang bermasalah."

Ristiana mendesis. "Bangsat! Cuih, dasar lo anak pungut nggak tau diri!" sarkasnya, meludahi sepatu mahal Juven. Air liurnya mengalir dibawah bibirnya.

Lelaki itu masih diam menatap Ristiana dengan datar. Dia sangat tenang, denyut nadinya bahkan masih menyuarakan detak yang normal. Namun, itu mengerikan di mata Ristiana.

Juven melangkahkan kaki mendekat, dia berjongkok, menyamaratakan tinggi kepalanya dengan Ristiana. Juven terkekeh kecil, mengacak surai wanita itu dengan lembut. Tangannya turun mengusap pipi, Ristiana menggeleng dengan kasar namun Bagas menahan kepalanya.

"Lo tau bahasa ulangi, 'kan?"

Ristiana bergeming, tatapannya nyalang. Senyum Juven masih merekah, sangat mengerikan. Kini, tangannya beralih ke sudut bibir.

"ARGHH!"

Hanya seperkian detik, bibir Ristiana mengeluarkan darah segar. Sangat deras. Juven menyimpan silet dibalik lengan jasnya, dan itu digunakan untuk menyayat pinggir bibirnya. Bagas dan Juven tertawa sangat puas. Bahkan, menggema dalam satu ruang.

"Desahan lo jelek, Ris. Kemarin Ronald nggak puas main sama lo. Kasian anak buah gua, longgar banget si lo," tukas Bagas.

Juven memperhatikan Ristiana. Rintihannya, permohonan maaf, jerit dan tangis semua melebur didalam kalimatnya yang terseok di tenggorokkan.

PAGE SCANDAL (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang