Lembar Kedelapan Belas

98 30 1
                                    

ASSALAMUALAIKUM
VOTE KOMEN YA GUYS!
DAN WAJIB RAMAIKAN

BAG 18 | PAGE SCANDAL

Rintik kecil berjatuhan sejak petang tadi, daun-daun berguguran di bawah pohon rindang. Petrichor menyapa tanah basah menciptakan harum ketika melewati indera penciuman.

Lagu sendu yang terputar di dalam Cafe menemani sejak kakinya menapaki ruang minimalis dengan arsitektur klasik. Rosé duduk menatap jendela yang terisi dengan kalimat-kalimat sederhana dari para penulis ternama. Memperhatikan orang-orang sekitar yang sedang sibuk dengan aktivitasnya.

Rosé mengangkat tangannya, melihat waktu yang telah terbuang sia-sia selama dua jam. Cappucino yang dipesan pun sudah tandas tak tersisa. Panggilannya tidak diangkat, pesannya pun tak kunjung mendapatkan balasan.

Seharusnya Amerta tidak perlu mengiyakan jika tidak bisa. Rosé geram sendiri, sudah sangat bosan duduk sendirian dan tidak melakukan apa-apa.

"Tai amat ya tuh cewek! Kalo nggak butuh juga males gua!" Rosé menggerutu.

Detik demi detik terlewati, nada dering ponselnya terdengar menyapa pendengaran. Benda pipih itu bergetar keras di atas meja.

Amerta's calling . . .

Rosé menatapnya lamat, hatinya sudah dongkol merasa unmood duluan. Dengan malas, jarinya bergerak menggeser panggilan ke warna hijau.

"Halo, Roséanna."

Bola mata Rosé memutar. "Halo, Amerta!"

"Sorry gua baru kasih kabar. Atur lagi pertemuannya ya, gua ada temu dadakan sama anak paskib."

Bibir Rosé melipat, tangannya mengepal. "Iya, gapapa."

Tawa Amerta terdengar dari seberang. Rosé sudah sangat kesal bukan kepayang. "Kalo memang penting banget, bahas di sekolah saja. Perpustakaan P.I pasti kosong, gimana?"

Rosé mengetuk jemari di atas meja, berpikir sejenak untuk beberapa detik. Tidak merugi juga, senyumnya kini tertarik ke atas. "Okey, lo yang atur waktu karena gua selalu free."

"Oke, thanks Roséanna. Gua tutup ya!"

"Iya."

Rosé menurunkan ponsel dari telinganya, melirik layar depan yang menunjukkan pukul delapan malam. Giginya bergemelatuk kecil, Juven masih di apartemennya. Rosé tidak ingin berada di satu ruangan dalam waktu yang tidak sebentar.

Dia hanya akan pulang malam.

• • •

Dentum musik menggema, lampu kelap-kelip menembak hingga sudut penjuru. Lenggokan pinggang dari beberapa kaum hawa menggoda mata telanjang anak Adam. Wangi alkohol dan beer berkolaborasi menjadi satu.

Irawan menyeruput segelas kecil anggur merah bersamaan dengan Eja dan Aurora. Sedang, mata Junaedi tiada hentinya memperhatikan setiap pria dengan otot bisep dan tatapan seksi penuh hasrat.

Malam ini bar Geyatric ramai, akan ada pelelangan dari beberapa wanita malam. Hal yang paling ditunggu-tunggu oleh kaula muda yang ingin memiliki mainan di atas ranjang. Atau sekedar menuntaskan nafsu semata.

"Kira-kira Naila dilelang nggak ya?" tanya Aurora di pangkuan Eja. Kepala Junaedi menoleh menatap keduanya bergantian.

"Naila Bahasa 4?"

Eja mengangguk kecil. "Naila Darayan."

Junaedi membola, bibirnya menganga membuatnya dengan segera mengangkat tangan untuk menutup. "Demi apa anjing? Mantan lo itu, Ja? Dia pendiem gila!"

PAGE SCANDAL (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang