Lembar Ketujuh Belas

71 29 14
                                    

ASSALAMUALAIKUM
VOTE KOMEN YA GUYS

Tangan Juven bergerak ke samping laptop, meninimalkan suara dari benda elektronik itu. Tampak seorang gadis kecil dibalik layar kacanya, dengan bandana yang sudah terlihat berantakan di atas kepala. Senyum Juven tertarik sangat lebar untuk menyambutnya. 

"KAK JUVEN!! AHHHH INI BENERAN KAKAK?"

Dan, lihat. Juven hanya menghela napas mendengar suara nyaring perempuan yang sudah begitu lama tidak mengganggunya. Sedikit terkekeh kecil. Namun, kali ini Juven tidak memberinya tatapan hangat atau ucapan selamat datang yang biasa dilakukan. Ada sirat kekecewaan yang dirasa.

Juven segera mengangguk kecil ketika suara gadis itu mengejutkannya, dia mengangkat tangan untuk meneguk segelas air putih dari cangkir dengan ukiran mahal asal Belanda.

Cangkir sekali pakai.

"Apa kabar kak?"

"Baik."

Juven memperhatikan gadis tersebut dengan detail, pada dinding kuning yang dilapisi karpet motif kanak-kanak di belakangnya. Surai pendek dan poni yang menutupi dahinya lebar. Juga jendela kamar yang dibiarkan terbuka untuk memberi akses angin sore masuk dengan mudah.

"Bunda sakit lagi, Kak. Avy nggak punya teman cerita di rumah. Terfant sudah memiliki anak," suaranya terdengar mengadu, begitu melirih membuat ketidaktegaan Juven mengambang.

Raveena, adiknya tersayang. Seharusnya Juven memberinya pengawasan lebih selama berada di Indonesia, sial kali ini terlepas.

"Nenek?" Juven bertanya dengan sangat malas. Tentang wanita tua yang menbuatnya terus-terusan bertengkar dengan anggota keluarga.

Rakanda selalu ramai dengan keributan. Violet mencipta masalah-masalah yang tidak pernah diselesaikan, dan dia akan melempar itu pada Juven.

"Huft! Nenek selalu maksa Avy buat belajar di luar negeri. Dia ingin Avy jalani perusahaan utama Rakanda. Kakak 'kan tau, Avy hanya ingin membuka studio seni, Avy di caci olehnya setelah itu."

Mata Juven melebar, sorot pada netranya tajam, garis rahangnya terlihat sangat tegas. Kelu untuk sekedar berucap akibat pelu yang meluru begitu dalam di dalam relung jiwa.

"Avy pergi ke kamar Bunda di lantai atas. Kakak tahu? Bunda selalu dengan kelembutan hatinya. Tapi, ternyata itu terakhir Avy dapat dengar suara Bunda."

Terlihat Raveena mengusap air mata yang telah luruh sangat banyak dibawah garis matanya. Dia memang sangat perasa.

"Avy lihat Daniel?" tanya Juven segera. Jemarinya mengetuk pinggiran meja dengan tenang. Berusaha membuat Raveena tidak merasa teriminditasi.

Raveena mengangguk di dalam sana. "Setiap hari, dia selalu sama Bunda. Avy pun nggak dapat izin buat ketemu. Dia selalu merintah Avy untuk belajar dan membaca buku di perpustakaan. Tapi, kemarin entah keberuntungan atau apa, Daniel tidak ada di sisi Bunda."

Penuturan Raveena sangat rancu di dalam kepala. Gadis polos ini akan susah diajak untuk terus terang. Dia akan kebingungan dan merasa cemas berkepanjangan. Juven hafal hal tersebut.

"Daniel selalu bersama Nicholas tiap malam."

Sambung Raveena segera membuat kepala Juven menoleh. Netranya tidak terbaca, ketukan jemari semakin terdengar. Juven menyeringai tipis, dia sudah menduga. Daniel mengkhianatinya selama ini. Tapi, Nicholas?

"Avy yakin?"

"Yakin, Kak."

Juven berdeham pelan sebelum mengangguk kecil. "Avy jaga diri, Kakak harus kembali bekerja."

PAGE SCANDAL (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang