Hawa dingin menerpa kulit Salsa dan Althaf, namun mereka sama sekali tak merasa terganggu. Salsa dan Althaf menikmati keindahan langit malam ini dengan cahaya rembulan yang mengenai wajah mereka. Banyak bintang yang bertaburan di atas sana.
“Malam ini langitnya lebih indah dari biasanya,” ucap Althaf, membuka pembicaraan di antara mereka berdua.
“Iya,” balas Salsa yang masih memandang langit.
“Ah, saya jadi rindu masa kecil, Sa,” ucap Althaf. “Masa di mana saya bisa tertawa lepas, bermain bola kaki, berlarian ke sana-sini, dan tidak ada yang namanya kesedihan. Kalau pun menangis, paling hanya sebentar saja, setelah itu kembali riang lagi. Yang jelas, banyak hal yang saya rindukan dari masa kecil,” ungkapnya. “Kalau kamu, Sa?”
Sejenak Salsa terdiam, kemudian tersenyum tipis. “Gue juga rindu masa kecil, Al,” jujurnya. “Rindu bermain boneka barbie, rindu bermain petak umpet, rindu suara gelak tawa saat bermain enggrang. Gue juga rindu manjat pohon mangga,” ucapnya dengan terkekeh.
Althaf tersenyum tipis mendengarnya.
"Semuanya gue rindu, tapi ada satu hal yang paling gue rinduin," lanjutnya.
“Apa?” tanya Althaf yang penasaran.
Salsa tersenyum miris sambil menatap kolam. “Gue rindu diri gue yang selalu bebas untuk berekspresi. Nggak kayak sekarang yang selalu berusaha baik di depan orang.” Althaf terdiam mendengar pengakuan gadis di sampingnya ini. “Ah, gue jadi pengen balik ke masa-masa itu,” rindu Salsa.
“Tumben kamu nggak ngomong ketus ke saya?” Althaf mengalihkan pembicaraan mereka, ketika gadis itu mulai bersedih.
Salsa mendengus malas. “Jadi lo mau gue ngomong ketus ke lo?” sarkasnya.
“N-nggak, bukan gitu. Saya cuman heran aja, kenapa kamu tiba-tiba bersikap lembut ke saya,” sanggah Althaf, takut Salsa kembali ketus kepadanya.
Tawa Salsa pecah melihat ekspresi Althaf. “Ck... gue juga nggak tahu kenapa tiba-tiba lembut ke lo, mungkin karena gue memang nggak bisa lama-lama marah sama siapapun.” Salsa menatap Althaf. “Jadi lo beruntung, karena nggak perlu berpikir keras lagi, supaya gue nggak marah lagi sama lo,” celetuknya, disambut gelak tawa Althaf. “Ih, malah ketawa,” kesalnya.
“Maaf, maaf,”
Hening.
“Kamu tau, Sa? Kamu itu terlalu menggenggam erat perasaanmu, hingga kamu merasakan sesak yang berlebihan,” ucap Althaf.
“Maksudnya?”
Althaf tersenyum tipis. “Saya udah tau alasan kamu menangis di Cafe tadi,” ucapnya.
“Lo tau?” tanyanya dengan napas tercekat.
Althaf mengangguk. “Iya, tadi saya nggak sengaja dengar pembicaraan kalian,” jujurnya. Ia emang tidak sengaja kewat, ketika Salsa dan para sahabatnya sedang membicarakan hal itu. “Maaf, saya nggak bermaksud menguping kok. Saya hanya-"
“Nggak papa Al, santai aja lah,” potong Salsa. “Gue diam-diam suka sama dia, sejak gue masih SMA,” ceritanya.
“Saat itu gue masih kelas X, sedangkan Bang Sean kelas XI. Sebelum kita dekat, gue cuman berani ngelihat dia dari jauh. Di saat kenaikan kelas, Bang Sean tiba-tiba ngajak gue kenalan. Sejak saat itu, kita jadi dekat. Sampai-sampai kita mutusin untuk satu kampus. Gue pun semakin nyaman berada di dekatnya.” Salsa melirik sekilas Althaf yang menyimak ceritanya. “Hingga dua tahun yang lalu, dia menjauh dari gue, dan lo udah tau alasannya. Dia juga udah punya istri,” parau.
“Dan pada akhirnya, kamu memilih untuk nyerah?” tebak Althaf. Salsa pun mengangguk, membenarkan tebakan Althaf.
“Iya, gue nyerah. Gue harus ikhlasin semuanya, supaya gue nggak merasakan sesak lagi di hati,” tegar Salsa. “Miris banget nggak sih kisah percintaan gue?” Althaf terdiam. “Kok nggak dijawab, Al?” tanyanya yang menunggu jawaban dari sosok di sampingnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Husband✔
General FictionAisyah Salsabila Azhari, gadis yang kerap disapa Salsa, merupakan mahasiswi Teknik Lingkungan semester 7 di salah satu Universitas Negeri di Jakarta. Salsa merasa permasalahan kisah cintanya rumit. Kenapa begitu? Karena belum selesai masalahnya deng...