♡ Ambigu ♡

120 28 5
                                    

•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ketika kamu bilang bahwa perasaan bisa memainkan si pemilik rasa, maka aku membenarkan. Ya, benar. Aku sedang merasakannya."

•••

     "Tolong semua buku dikembalikan ke tempatnya lagi kalau sudah selesai."

   "Berisik, poin dua. Naruh buku salah rak, poin empat. Yang tidak mengembalikan buku ke tempat asalnya, poin enam. Yang bukunya sampai kotor, sobek, dan cacat kena poin lima belas!"

    Semua anak kelas XI MIPA 3 yang ada di perpustakaan menggerutu. Kebijakan poin yang Bu Wawa terapkan di perpustakaan membuat semuanya harus perfeksionis. Tidak ada buku yang tidak pada tempatnya. Tidak ada yang boleh berisik dan melanggar peraturan. Semua harus rapi, rajin, tertib, dan disiplin. Karena setiap poin yang Bu Wawa beri, akan semakin mendekatkan si Empunya poin pada panggilan orang tua.

    "Sini, Nda." Vani berbisik, melambaikan tangan pada Armanda yang celingukan mencari tempat duduk.

   "Oke-oke." Langsung saja Armanda duduk di samping Vani. Kebetulan, di depannya ada Kartaja yang sedang tidur, menelungkupkan wajah dalam lipatan tangan.

Kebiasaan.

   Armanda mengeleng pelan. Seharusnya, Kartaja memanfaatkan waktu yang Bu Marsih beri untuk riset tugas Bahasa Jawa mereka—Serat Wedhatana—tetapi, Kartaja malah asyik liburan ke alam mimpi.

    "Nda, kamu dapet buku itu di rak sebelah mana?"

   Armanda mengernyit, mengingat. "Di rak sebelah barat, rak paling pojok, nomor 600-an pokoknya. Coba lo cari aja."

   Vani yang belum mendapatkan informasi lengkap segera angkat kaki, meninggalkan Armanda dan Kartaja yang duduk berdua di meja nomor lima yang sebenarnya cukup diduduki delapan orang.

   Armanda mengedikkan bahu, kembali menyelami buku di tangannya.

   "Serat Wedhatama itu sebuah karya sastra Jawa Baru yang bisa digolongkan sebagai karya moralistis-didaktis, sedikit dipengaruhi Islam."

   Armanda mendongak cepat, mendapati Kartaja yang sedang menatap bukunya, lalu parasnya.

   "Loh? Udah bangun?"

    Kartaja menggangkat alis tinggi. "Udah nggak ngantuk, ya, bangun."

   "Dasar, Kebo."

   Kartaja tertawa. Benar-benar tertawa—tanpa suara—yang membuat Armanda tertegun lama.

   "Nggak apa kebo, yang penting ganteng."

   Mungkin Kartaja ketularan Bilal yang narsisnya bukan main. Namun, Armanda tidak ingin ambil pusing.

    "Narsis. Dahlah, terus ini serat penulisnya siapa?" Armanda lebih memilih memanfaatkan pengetahuan Kartaja tentang Serat Wedhatama ketimbang berdebat soal kebo. Nilai Bahasa Jawanya sedang dipertaruhkan.

Sweet Promise (TELAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang