17

6.4K 621 58
                                    

Diem-dieman dengan mas Ar sudah biasa. Yang memicu juga bukan dari masalah pribadi kami, karena selama ibunya masih hidup dan tidak mengubah sifat maka selamanya rumah tangga kami tidak akan damai.

Jam dua belas siang mas Ar pulang seperti biasa. Karena Keysha sudah dijemput maka kami bisa makan siang bersama. Tapi siang ini berbeda, mas Ar membeli nasi bungkus di warung makan Padang.

"Kenapa tidak bilang-bilang beli nasi di luar?"

"Beli nasi juga harus bilang? Masakanmu bisa kita makan malam nanti."

Oke lah. Aku tidak mendebat lagi. Mengambil piring aku membuka nasi bungkus dan siap menyantap. Lengkap dengan perkedel dan daun singkong, makan siang yang istimewa. 

"Kalau ada adik Key bisa ramai lagi."

Aku terbatuk dan melihat Keysa karena dia merespons cukup cepat. "Papa mau beli Key adik? Adik bayinya tante Lea cantik loh Pa. Belinya samaan kek gitu."

Senyum mas Ar tidak memikatku. "Key mau punya adik?"

Keysa mengangguk. "Kalau bisa beli dua Pa. Kembar."

Mas Ar sedang memberi kode. Biarpun ngeselin, untungnya selera makanku tidak hilang. "Enggak usah macam-macam deh. Habisin nasinya."

"Aku serius Gendis!"

Tidak mau berdebat di depan Keysa aku menghentikan makan siang. Keysa masih kecil tidak layak mendengar pembicaraan ini apalagi melibatkannya. 

"Mama duluan Key. Kalau sudah selesai langsung ke kamar ya. Jangan main lagi, panas."

Perut kenyang emosi ikut naik. Masuk ke kamar, nyalain kipas angin lumayan tidak panas.

"Keberatan kamu hamil?" mas Ar berdiri di kusen pintu kamar.

"Aku mau kerja Mas, belum mikir hamil lagi," jawabku.

"Tidak bisa kau kabulkan permintaan suamimu?"

Cuaca cukup panas kenapa mengangkat topik seperti itu? "Karena aku mau bekerja makanya Mas mau aku hamil?"

"Kenapa berpikir seperti itu?"

Gimana tidak? "Kemarin enggak bilang apa-apa, wajar kalau aku curiga." 

"Kita suami istri apakah janggal membicarakannya sekarang?"

Bukan seperti itu. Aku sama sekali tidak kepikiran nambah anak, sejak melahirkan Keysa rasanya aku belum siap. Apalagi saat mengingat ibu mertua. "Akan kupikirkan." setelah menunda dua hari, aku memutuskan berangkat besok berangkat ke Jakarta. "Aku akan bekerja, bisa komunikasikan lewat telepon nanti."

"Biarkan aku yang bekerja."

Dia mulai lagi? "Aku tidak mau membahasnya lagi Mas. Aku akan bekerja. Bangunan rumah belum selesai-selesai, ngandelin gaji kamu mana cukup." iya kalau terkumpul, kalau kejadian seperti dulu bagaimana?

"Kasihan ijazahku nganggur. Lagi pula aku sudah diterima, besok berangkat langsung kerja," jelasku. 

"Aku bisa melakukannya, kamu tinggal menunggu dan di rumah saja."

"Tidak bisa," kataku tegas. "Aku sudah menandatangani kontrak, mas pikir aku kerja di terminal bisa batalin sesuka hati?"

Mas Ar diam. Tatapan datar itu tak lagi kutentang. Malas membahas hal yang sama. "Kalau Mas tidak sempat, aku bisa meminta mas Ferdi mengurus surat pindah Keysa dari sekolahnya."

"Kamu pergi karena Ibu, rencana yang sejak awal tidak bagus."

Terlalu cepat menilai. "Aku tidak meminta Mas menunggu proses, kenyamananku lebih penting dari semuanya." karena dia yang memancing mudah sekali kusambut. "Jauh dariku, bukan untuk membuat Mas sadar. Sungguh aku ingin pergi atas keinginan hatiku. Wanita sepertiku butuh dukungan dan harus mencari sendiri." karena aku tidak punya siapa-siapa. Kalau ada masalah hanya mba Lea yang bisa membantu, tidak mungkin selamanya aku menyusahkannya. 

Aku selingkuh punya alasan MasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang