16

5K 511 52
                                    

"Gugup tadi?"

"Biasa saja," jawabku. Ibu mertuaku lebih sadis dari pengawas. Nyaliku sama sekali tidak ciut. Sempat berpikir mas Endru akan membantu, nyatanya enggak sama sekali. Melewati tahap wawancara dan lulus dengan nilai terbaik. Tahap selanjutnya tidak begitu berat.

"Sebagai tetangga kupikir Mas akan membantu," candaku. Teh dingin di kantin perusahaan lumayan segar di terik panas hari ini.

"Kamu pikir tidak?"

"Serius?"

"Perusahaan mana yang langsung mengumumkan pelamar lolos di hari wawancara?"

"Bukan hanya ada aku." ada tujuh orang yang diwawancara hari ini dan kami semua lolos.

"Ingin diprioritaskan?"

"Sama sekali tidak," sahutku tegas. Aku ingin bekerja dengan kemampuanku bukan orang dalam apalagi sampai membuat skandal dan hal itu sudah kukatakan pada mas Endru.

Hidup terpisah dengan mas Ar, tidak apa selama kami masih bertahan ya alhamdulillah, kalau enggak ya mau gimana lagi. Nasib hidup itu diubah, bukan ditunggu. Jika bukan dengan mas Ar berarti aku harus hidup sendiri.

"Karena kamu yang mau, minggu depan bisa masuk kerja."

Alhamdulillah.

"Sudah tahu mau tinggal di mana?"

"Ngontrak dulu, Mas." aku bisa tinggal di kontrakan. "Salah satu pelamar tadi bilang perusahaan menyediakan tempat tinggal dekat kantor, mungkin aku akan mengajukan nanti."

"Apartemen. Lengkapi syaratnya saja. Perusahaan tidak menyulitkan karyawan."

Sepertinya pilihan bagus. Dari penyampaian mas Endru aku bisa menilai jika perusahaan ini memang layak diminati. 

"Kalau dipersulit aku minta tanda Mas saja nanti."

Mas Endru tidak menjawab, dia hanya diam sembari menyeruput kopi. Hidup tidak bisa sendiri, kita butuh orang lain untuk membantu. Sama halnya denganku saat ini, punya orang yang kukenal berasal dari desa yang sama semoga saja bisa membantu sampai aku tak merasa tersisih di ibu kota.

Butuh keberanian dan tekad untuk bertahan di ibu kota. Mengawali dengan niat yang baik saja tidak cukup. 

Di antar mas Endru ke terminal aku pulang sendiri. Menyiapkan segala sesuatu untuk pindah ke ibu kota mengadu nasib agar pantas dikatakan hidup dengan baik walaupun tanpa suami. Hampir sembilan tahun, sudah cukup kurasa berjuang dengan mas Ar apalagi melihat tidak ada tanda-tanda kemajuaan. Apa salahnya berjuang sendiri-sendiri? Toh, semua untuk kebaikan tergantung cara pandangnya saja.

******

"Keysa tidak keurus, kamu tidak mikir?"

Meletakkan handuk di kamar mandi, aku keluar dan duduk dibangku. Melihat wajah mas Ar menahan marah, aku menjawab, "Dia anteng tinggal di rumah mba Lea, kenapa dijemput?" baru juga dua hari aku pergi, lagian tidak pernah punya niat meninggalkan Keysa lama. 

"Baru dua hari. Kamu sudah melihatnya bukan?"

"Mas. Aku kerja. Begitu ada tempat tinggal Keysa kubawa. Tenang saja aku tidak akan merepotkanmu."

"Yang kerja itu suami. Bukan istri! Kalau kita sama-sama bekerja siapa yang mengurus rumah tangga?"

Oh begitu cara pikirnya? "Kalau Mas bisa bersikap layaknya suami aku enggak akan bekerja." karena aku pernah memberikan pekerjaanku padanya, berpikir memang dia yang layak mencari nafkah. Tapi, apa hasilnya? Jangankan kaya, yang ada setiap hari kami ribut tak lain adalah karena orang tuanya. Istri mana yang tahan? "Mas yang membuatku mengambil jalan ini. Bukan orang lain, tapi tenang saja aku tidak akan menelantarkan putriku!"

Aku selingkuh punya alasan MasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang