14

5.4K 704 24
                                    

"To the point saja, bukan tidak punya alasan saya mengajakmu ke sini."

Aku memperhatikan raut mas Endru saat berbicara. Bukan seperti orang jahat, karena masih bicara formal aku juga tidak bisa menganggapnya teman. Mengenal tapi kamu tidak pernah berbicara. Hanya tiga kali aku ke kantor RT selama tinggal di sini. Kami juga jarang bertegur sapa, namun keberanian laki-laki itu hari ini sedikitnya membuatku penasaran.

"Aku tahu dari mba Weni Mas Kerja di luar kota, tapi kenapa akhir-akhir ini aku sering melihat Mas?"

"Kamu ingin tahu?"

"Hanya bertanya sih," jujurku. Aneh saja kan. Setahuku orang yang bekerja diluar kota hanya pulang sebulan sekali, itupun kalau ada kepentingan. Sedangkan mas Endru setiap aku ke rumahnya, pasti beliau ada.

"Anggap saja ada yang mau saya tengok."

Iya juga. Beliau masih punya ibu. Aku tersenyum. Ingat tentang ibu mertua, aku bertanya. "Mas tahu ya kalau ibu mas Ar di penjara?"

"Tahu. Tapi beliau sudah dibebaskan." saat menjawab, mas Endru tidak melihatku dan rautnya biasa saja. Tenang sesaat, karena kalimat selanjutnya bikin aku kaget. "Kamu pasti tidak puas."

Menunduk untuk menyesap nikmat rasa kopi lumayan membantu menyamarkan raut terkejutku.

"Anehnya saya tidak menemukan surat gugatan cerai." tidak berhenti di situ, mas Endru melanjutkan. "Mau bertahan lihat sikon juga."

Saat ini aku tidak ingin memahami kalimat itu, namun aku ingin bertanya mana tahu laki-laki itu tahu tentang hukum.

"Ibu mertuaku sedang dalam masa tahanan, memangnya bisa bebas?"

"Zaman ini segelintir orang menyalahgunakan kewenangan. Kamu pasti pernah mendengar istilah dengan uang dunia bisa dibeli."

"Dengan kata lain ada pihak yang bermain kotor?"

"Bukan orang lain."

Aku mengerti. Andil anak-anak ibu mertuaku, siapa lagi yang mau membantu wanita jahat itu? 

"Sampai kapan mau fokus?"

"Kita bukan teman." tidak mungkin aku mengatakan semuanya terlebih ini masalah keluarga.

"Menikah bukan hanya soal suami istri." mas Endru menatapku dalam. "Mertua dan ipar. Mereka bagian dari rumah tangga." 

"Sejauh apa Mas tahu masalah rumah tanggaku?" cara mas Endru bicara benar-benar membuatku lebih jeli menilainya.

"Kamu yang selalu merasa tidak puas pada sikap sepihak Armada, apakah saya lancang?"

Aku ingin menertawakan diri sendiri. "Mas tahu dari mas Ferdi kan?"

"Tidak semua." tatapannya masih dalam. "Selebihnya saya tahu dari kamu."

Aku tidak mengatakan apapun, baik padanya ataupun mba Weni. "Mas berusaha mengerti setelah memperhatikan?" jujur, sulit menebak raut itu.

"Anggap saja begitu."

Dia memperhatikan, sejak kapan? 

"Kalau saya menyuruhmu berhenti, kamu akan mendengarkan?"

"Aku tahu apa yang harus kulakukan, tanpa harus mendengar perintah orang lain."

Tidak ada jawaban. Aku tidak marah, hanya menegaskan jika aku punya prinsip. "Aku yang menikmati, jadi aku tahu mana yang terbaik."

"Semoga," kata mas Endru datar. 

"Sudah mau malam." tak ada tanda-tanda hujan padahal langit cukup mendung. "Terimakasih kopinya." aku tidak menoleh lagi saat keluar dari cafee tersebut. 

Obrolan sore ini kuanggap sapaan terlewat. Aku tidak bangga jika seseorang bisa menyusup dan mengetahui kesakitanku. Hanya mba Lea yang kupercayai dan pantas tahu tidak dengan orang lain. 

Ada tanya yang menyelinap, wajarkah  perhatian mas Endru?

******

Jam tujuh lewat aku tiba di rumah. Saat masuk kedua tatapan yang duduk di depan televisi mengarah padaku. Tidak menyapa dan langsung memilih masuk ke kamar.

"Ketemu Weni?"

"Tidak."

"Jadi ke mana saja tadi?"

"Minum kopi." tak kuperhatikan wajah mas Ar saat menjawab. Duduk di sisi ranjang, niat ingin menarik napas dalam tak kulakukan.

"Tidak ada yang ingin Mas katakan padaku?" enggan saat ingin mengangkat wajah. Melihat lantai rasanya lebih membuat damai.

"Tentang apa?"

"Apa saja. Jika memang kamu menganggap aku istrimu."

Mas Ar mendekat dan duduk di sampingku. "Kamu pasti lelah, tidur saja."

Kini kuangkat wajahku ingin melihat raut menghindari mas Ar. Dia menatapku datar, seolah hari ini sama dengan kemarin. 

"Aku lelah karenamu." 

Mas Ar meraih tanganku dalam genggamannya. Tidak ada getar saat tangan itu saling bertaut. 

"Hari ini toko ramai, alhamdulillah tabungan Keysa sudah---"

"Ibu baik-baik saja?"

"Alhamdulillah." raut mas Ar masih sama. "Dia menanyakan Keysa."

Siapa diriku bagi mas Ar? Drama apa yang sedang di mainkan olehnya? Cara dia bicara juga sikapnya benar tidak mencerminkan kejujuran.

"Mas pikir aku bodoh?" aku tidak tahan. "Aku sedang belajar percaya, Mas tahu kan?" aku menuntut sikapnya dengan dingin. "Mas bertemu ibu di mana?"

"Ada apa denganmu?" intonasinya masih dijaga, tapi raut mas Ar sudah terlihat tegang.

"Mas mengunjungi lapas siang tadi?" 

Mas Ar menatapku. 

"Atau Mas bertemu ibu di tempat lain?" dia tidak ingin menjawab? Baiklah. "Setelah ini, apa yang bisa Mas lakukan sebagai suami?" 

"Kamu menuduhku?"

Tak perlu kujawab pertanyaannya. "Siapa yang bisa menjamin keselamatanku?"

"Ibu bukan orang jahat. Dia memang bersalah, tapi dia punya alasan melakukan itu walaupun alasannya tidak bisa dibenarkan."

Lancar dia memberikan klarifikasi jika menyangkut dengan ibunya.

"Mas tidak bisa menjamin 'kan?" aku tidak akan diam saja. "Mas juga tahu hubungan kita masih dalam tahap uji coba, kali ini Mas siap 'kan?" Aku akan bicara sesuai fakta.

"Aku tidak rela dalam artian ibu bersalah dan kalian mengupayakan hal yang sia-sia."

"Ibu tidak akan menggangu kita, Gendis."

"Semua kata-katamu tak lebih dari sampah." tahu sampah kan? "Bukan sekali dua aku termakan omonganmu, kenyataannya?" dia tahu jawabannya.

"Aku tidak akan bicara. Kamu lihat saja." mas Ar bangun dari duduknya.

"Pergi saja dari rumahku Mas." cara ini bisa melukai harga dirinya, bukan? 

Cari kegiatan. Sedikitnya pikiranmu akan terbuka. Perusahaan masih ada lowongan. Kamu lulusan sarjana ekonomi kan?

Aku selingkuh punya alasan MasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang