Utuh atau runtuh?
Hidup atau redup?
Dua pertanyaan itu terus menerus mengendap di kepala Reiga dan juga Velia. Katanya, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi dalam pernikahan yang didasari oleh kepentingan. Pertama; saling jatuh cinta. Dan kedua;...
Karena Theo mendaftarkan gue untuk menjalani pemeriksaan di rumah sakit yang dokter rekomendasikan, hari Sabtu ini Ragam Perspektif nggak melakukan kegiatan apa-apa atau bisa dibilang dalam masa off day. Ari dan Nino maksa pengen ikut mengantar gue ke RS, namun dengan tegas gue menolak karena kedatangan gue ke sana bukan buat lahiran.
Sebetulnya semalam tadi gue gak bisa tidur nyenyak berkat omongan Reiga, si petugas pemadam kebakaran yang kemarin rumahnya gue datengin. Celetukan yang gak bisa gue bedain apakah konteksnya bercanda atau bukan itu ternyata malah jadi hantu yang bikin istirahat gue terganggu. Cocok katanya, jadi maksud dia, dia pengen nikahin gue untuk tujuan saling menguntungkan alias bersimbiosis gitu?
G-ganteng sih, idaman juga, tapi— Aduh, lo mikir apa sih, Vel?
"Tadi buburnya abis gak?" Lamunan gue buyar saat Theo dengan pandangan yang lurus ke depan bertanya. Dia nyetir hari ini, padahal kalau lagi kerja, Theo paling anti duduk di balik kemudi makanya selalu Ari yang jadi driver kami.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Gue yang sedang mengaplikasikan sedikit bedak tabur dan lipstik biar nggak gembel-gembel banget menjawab, "Dikit doang, The. Masih sisa tadi, agak gak nafsu."
Lelaki itu menaikkan volume radio yang sedang memutarkan lagu Yura Yunita dengan judul Berawal Dari Tatap. Mungkin udah tiga tahunan dia suka sama lagu ini, dan gue ingat banget karena ketiga lelaki ini punya selera cukup unik sehingga jarang suka sama lagu yang gak berasal dari musisi favoritnya.
"Mau makan apa kalo gitu? Mumpung masih di jalan, nanti berhenti bentar."
"Gak ah, beli air aja nanti di Alfa, takut haus." Usul gue. Theo nggak bilang apa-apa lagi, dia tau betul kalau gue ini keras kepala banget. Kalau nggak mau, ya udah, gak bisa dipaksa-paksa.
Makanya sebelum masuk ke pelataran rumah sakit, Theo berhenti dulu di minimarket untuk beli air mineral serta air yang mengandung vitamin. Kedua jenis minuman itu buat gue. Dia? Kopi lah, kopi mahal yang sekaleng hampir lima belas ribu.
"Keren ya ke rumah sakit sekarang udah kayak reservasi hotel, apa-apa online." Kata gue saat kita berdua sudah menunggu di depan ruang praktek dokter Spesialis Penyakit Dalam. Theo cuma nunjukin kode booking pas daftar di loket, langsung dapat nomor antrian dan dipersilahkan menunggu tanpa harus ngasihin syarat apa pun lagi.
"Konsultasi dokter dan beli obat aja bisa online, Vel. Kemajuan zaman sih, mau gak mau." Katanya kemudian meminum kopi yang dingin itu. Untung lambungnya nggak butut kayak gue, makanya Theo bisa segampang itu minum kopi dingin pagi-pagi padahal belum makan nasi.
"Harusnya lo nomer dua, soalnya hari ini pasiennya dikit karena jam prakteknya juga bentar." Pandangannya mengedar untuk melihat situasi sekitar. Di barisan kursi tunggu depan ruangan dokter penyakit dalam sih dikit banget yang duduk, berarti pasiennya emang gak banyak— sesuai kata Theo.