Reiga
Tanpa keberadaannya, rumah kembali mati seolah kehilangan nyawanya. Gue selalu benci dengan suasana ini. Gue yang sudah akrab dengan kehangatan darinya, jelas tidak dapat menerima ketiadaannya yang begitu tiba-tiba.
Harusnya kemarin lo tahan dia, Rei. Harusnya lo mengatakan semuanya kepada Wiya dan utarakan juga perasaan lo yang sebenarnya. Hatinya sudah untuk lo, dia mengatakannya sendiri secara lantang sehingga lo tidak perlu meragukan apa pun lagi tentangnya. Tapi kenapa? Kenapa lo malah diam dan membuat dia semakin salah paham?
"Aku mohon banget sama kamu, Cher, jangan melakukan apa pun lagi dan coba buat lepasin aku. Udah aku bilang, aku bahagia sama Velia dan aku gak mau dia semakin salah paham gara-gara kamu."
Gue harus menyelesaikan semuanya dengan jantan, makanya gue lebih dulu menghubungi Cheri untuk menegaskan sesuatu yang sudah bosan gue ulang. Kalau aja dia gak nemenin gue di rumah sakit hari itu, masalah ini gak mungkin mencuat ke permukaan.
"Maksud kamu semuanya salah aku, Rei? Kenapa sih kamu gak bisa hargain aku?" Gue sudah kehabisan cara untuk menghadapi perempuan ini. Gue sudah bersikap kasar padanya, gue juga sudah bersikap lembut seperti tadi namun tetap saja gagal. "Aku selalu penasaran, hal apa yang dia punya dan aku gak punya sampai-sampai kamu segininya belain dia?"
"Dia istri aku, dan kamu bukan siapa-siapa aku. Tolong, jangan terus-terusan membandingkan Veli sama kamu. Mau setidak sempurna apa pun dia, dia istri aku. Sekali lagi, Veli istri aku."
"Aku udah gak ada harganya banget ya," terdengar isakan kecil dari seberang sana. Tanpa permisi, dia menutup panggilan yang sudah berlangsung selama sepuluh menit itu. Gue mendesah frustrasi, lantas melemparkan ponsel begitu saja ke atas tempat tidur kemudian merebahkan diri di sana setelahnya.
Perasaan gue aneh,
Gue resah, gue gelisah, tapi gue juga gak bisa menahan bahagia yang saat ini gue rasa. Gue dan Wiya berhasil, kita berdua berhasil menumbuhkan perasaan sehingga pernikahan ini dapat diteruskan. Kekhawatiran gue hanya merupakan ketakutan tak berdasar. Gue ingin berlari padanya, gue ingin menemuinya, tapi ini bukan saat yang tepat mengingat ucapannya yang membutuhkan waktu untuk sendirian.
Siang itu ketika gue baru saja pulang dari daerah Pagarsih untuk melakukan penanganan terhadap tumpahan bahan bakar minyak di jalanan, salah satu rekan gue memberitahu kalau di depan ada tamu. Pikiran positif gue menduga kalau itu Wiya, namun saat gue menemuinya, ekspektasi gue terpatahkan karena yang datang rupanya adalah Cherika.
Gue tidak memakai sepatu, hanya memakai sepasang sandal jepit karena habis mencuci kaki sehingga saat berhadapan dengannya, gue malah membungkuk ke bawah untuk menurunkan celana yang sebelumnya gue gulung. "Ini jam kerja, aku pegawai negeri dan menerima tamu yang nggak berkepentingan atau berkaitan dengan pekerjaan itu adalah tindakan yang gak benar."
"Jangan sama Velia, Rei. Jangan hidup sama dia."
Gila ya dia?
Ada seringaian tak percaya di bibir gue sekarang. "Cher, kamu ke sini cuma mau ngomongin itu? Mending pulang, aku kemarin kurang jelas ya ngomong di telepon?"
"Gak bisa, Rei, aku nggak bisa kehilangan kamu gitu aja. Delapan tahun kita apa kabar, Rei?"
Sejak dulu, Cheri selalu seperti ini. Apa ya sebutannya? Drama queen? Dia gak punya banyak teman karena sifatnya yang satu ini. Hanya mereka yang mengerti dan bisa menerima dia lah yang terus bertahan untuk menemaninya.
"Delapan tahun hanya angka, Cher. Semuanya jadi percuma begitu aku sadar kalo selama ini aku dikendalikan. Berapa puluh kali lagi sih aku harus bilang ke kamu kalo aku capek dan menyerah sama kamu? Tolong jangan gini, Cher."
KAMU SEDANG MEMBACA
113
FanfictionUtuh atau runtuh? Hidup atau redup? Dua pertanyaan itu terus menerus mengendap di kepala Reiga dan juga Velia. Katanya, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi dalam pernikahan yang didasari oleh kepentingan. Pertama; saling jatuh cinta. Dan kedua;...